-->

Redenominasi Rupiah, Belajar dari Kegagalan 1965 dan Harapan Baru di 2027

Pekalongan News
Thursday, November 13, 2025, November 13, 2025 WIB Last Updated 2025-11-13T08:17:53Z

Redenominasi Rupiah, Belajar dari Kegagalan 1965 dan Harapan Baru di 2027
 Pekalongannews - Pemerintah kembali mewacanakan redenominasi rupiah, yaitu penyederhanaan nilai nominal dengan menghapus tiga angka nol di belakang. Wacana ini memicu perdebatan karena Indonesia pernah gagal melakukannya pada 1965. Namun, kali ini pemerintah menilai kondisi ekonomi lebih siap, dengan target implementasi pada tahun 2027.


Secara sederhana, redenominasi berbeda dengan sunering. Dalam sunering, nilai uang masyarakat berkurang karena daya belinya dipotong. 

Sementara itu, redenominasi hanya menyederhanakan nominal tanpa mengubah nilai riil. Misalnya, Rp10.000 akan ditulis menjadi Rp10, tetapi daya belinya tetap sama.

Ada tiga tujuan utama redenominasi. Pertama, efisiensi transaksi ekonomi, karena terlalu banyak nol dalam rupiah sering menyebabkan kesalahan pencatatan atau transfer. Kedua, branding mata uang nasional, agar rupiah terlihat lebih stabil dan kredibel di mata dunia. 

Ketiga, meningkatkan kepercayaan publik dan investor, karena mata uang yang lebih ringkas memberi kesan ekonomi yang sehat dan terkendali.

Pada 1965, Indonesia pernah mencoba langkah serupa di era Presiden Soekarno, namun gagal total. 

Saat itu, ekonomi nasional berada dalam kondisi buruk dengan inflasi mencapai 592% per tahun. Sosialisasi yang minim membuat masyarakat bingung membedakan uang lama dan baru, bahkan banyak pedagang menolak uang baru. Akibatnya, inflasi justru melonjak hingga 1.500% dan proyek redenominasi dibatalkan oleh pemerintahan Soeharto.

Kegagalan ini menunjukkan bahwa redenominasi tidak bisa dilakukan di tengah situasi ekonomi yang tidak stabil. Stabilitas politik, keuangan, dan kepercayaan publik menjadi syarat mutlak agar proyek seperti ini berhasil.

Meski terdengar sederhana, redenominasi menyimpan risiko besar jika dilakukan tanpa persiapan matang. Salah satu risiko utama adalah kenaikan harga akibat pembulatan ke atas (rounding up).

Misalnya, harga Rp13.700 berpotensi naik menjadi Rp14 setelah redenominasi. Risiko lain adalah kebingungan masyarakat, terutama di daerah yang masih dominan menggunakan transaksi tunai.

Oleh karena itu, sosialisasi dan edukasi publik menjadi kunci. Pemerintah harus memastikan masyarakat memahami bahwa uang mereka tidak berkurang nilainya. 

Selain itu, transisi menuju sistem keuangan digital (cashless) akan membantu mengurangi dampak pembulatan harga karena sistem elektronik lebih presisi dalam menghitung desimal.

Jika dijalankan dengan hati-hati, redenominasi dapat menjadi simbol kepercayaan baru terhadap rupiah. Nilai tukar yang lebih sederhana akan membuat rupiah tampak lebih kuat secara psikologis, memudahkan transaksi, dan meningkatkan efisiensi ekonomi.

Namun, keberhasilan rencana ini bergantung pada stabilitas ekonomi makro, konsistensi kebijakan fiskal, dan kesiapan masyarakat. Redenominasi bukan proyek kosmetik, melainkan langkah strategis yang menuntut kehati-hatian dan kepercayaan penuh dari rakyat.

Redenominasi bukan soal mengubah angka di uang kertas, melainkan tentang membangun trust dan citra ekonomi Indonesia di mata dunia. Jika dilakukan pada saat yang tepat dan dengan komunikasi yang jelas, maka pada 2027 nanti, rupiah baru bisa menjadi simbol efisiensi sekaligus kebangkitan kepercayaan ekonomi nasional.
Komentar

Tampilkan

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *

TERKINI