-->

Ketika IQ Tak Lagi Cukup: Pentingnya Kecerdasan Emosional di Dunia Digital

Pekalongan News
Saturday, November 08, 2025, November 08, 2025 WIB Last Updated 2025-11-08T14:48:35Z
Ketika IQ Tak Lagi Cukup: Pentingnya Kecerdasan Emosional di Dunia Digital
gambar dihasilkan Oleh AI
Pekalongannews - Di tengah derasnya gelombang kecerdasan buatan (AI) yang menaklukkan hampir setiap aspek kehidupan, Daniel Goleman  doktor psikologi lulusan Harvard—mengingatkan bahwa manusia masih punya satu senjata ampuh: kecerdasan emosional (emotional intelligence). Bukan hal baru memang, sebab konsep ini pertama kali diperkenalkan Goleman lewat bukunya Emotional Intelligence pada 1995. Namun, relevansinya justru semakin kuat di era digital sekarang.

Goleman tergerak meneliti fenomena unik: banyak orang dengan IQ tinggi justru gagal dalam hidup sosial maupun karier. Mereka cerdas secara logika, tapi lemah dalam memahami diri dan orang lain. Setelah riset panjang tentang cara kerja otak dan emosi, Goleman menyimpulkan bahwa kesuksesan lebih banyak ditentukan oleh kemampuan mengelola emosi dibanding kecerdasan kognitif semata.

Ia lalu merumuskan lima pilar utama kecerdasan emosional. 

  1. Pertama, self-awareness atau kesadaran diri kemampuan mengenali perasaan sendiri dan memahami bagaimana emosi memengaruhi pikiran serta tindakan. Orang yang sadar diri tahu kapan dirinya marah, cemas, atau kecewa, dan bisa menilai penyebabnya tanpa larut di dalamnya. Kesadaran ini membuat seseorang mampu mengendalikan reaksi emosionalnya dan bertanggung jawab atas perilakunya.
  2. Kedua, self-regulation atau pengendalian emosi. Di sini, Goleman menyoroti fenomena amygdala hijack—saat bagian otak yang mengatur emosi mengambil alih kendali logika. Orang yang gagal mengatur emosi mudah marah, cemas berlebihan, atau terjebak dalam kesedihan berkepanjangan. Goleman menegaskan, pengendalian bukan berarti menekan emosi, melainkan menyalurkannya secara tepat. Teknik cooling down dan reframing jadi kunci agar emosi tak memimpin tindakan.
  3. Ketiga, motivasi diri. Ini adalah kemampuan memanfaatkan emosi positif untuk mendorong pencapaian tujuan. Menurut Goleman, motivasi ibarat dalang yang mengatur berbagai “wayang” berupa keterampilan hidup. Penelitian Stanford bahkan menunjukkan, ketekunan dan disiplin (yang bersumber dari motivasi) sering kali lebih menentukan kesuksesan daripada IQ. Eksperimen klasik The Marshmallow Test membuktikan hal serupa—mereka yang mampu menunda kesenangan sesaat cenderung lebih sukses di masa depan.
  4. Pilar keempat, empati, yakni kemampuan memahami dan merasakan apa yang dialami orang lain. Empati membuat kita bisa membaca bahasa tubuh, ekspresi, atau nada bicara seseorang. Penelitian psikolog Stephen Nowicki dan Marshall Duke menunjukkan, anak-anak dengan empati tinggi lebih populer dan stabil secara emosi, meski IQ mereka biasa saja. Latihan seperti “bertukar sudut pandang” dan “mendengar tanpa menyela” dapat meningkatkan empati secara signifikan.
  5. Terakhir, seni sosial—kemampuan berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain. Pilar ini adalah puncak dari empat pilar sebelumnya. Goleman menyebutnya sebagai kemampuan mengelola emosi orang lain dengan cermat, menyesuaikan ekspresi, dan memahami konteks sosial. Ini melibatkan strategi komunikasi yang fleksibel: kapan harus memperkuat emosi, meredamnya, atau menutupinya demi menjaga hubungan dan efektivitas sosial.
Lewat lima pilar itu, Goleman ingin menegaskan bahwa kecerdasan emosional bukan sekadar “soft skill”, melainkan inti dari kemanusiaan itu sendiri. Mesin boleh menghitung lebih cepat, tapi hanya manusia yang bisa memahami, merasakan, dan mencintai. Dalam dunia yang kian diatur algoritma, justru kemampuan mengelola emosi-lah yang membedakan kita dari mesin.
Komentar

Tampilkan

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *

TERKINI