-->

Di Balik Julukan 'Korea Utara Afrika': 99% Warga Eritrea Tak Kenal Internet, Komunikasi Lewat Surat Tangan!

Pekalongan News
Friday, September 26, 2025, September 26, 2025 WIB Last Updated 2025-09-26T00:53:15Z
Di Balik Julukan 'Korea Utara Afrika': 99% Warga Eritrea Tak Kenal Internet, Komunikasi Lewat Surat Tangan!
gambar ilustrasi
Pekalongannews - Eritrea dengan Ibukota Asmara adalah sebuah negara kecil di Tanduk Afrika, Eritrea, dijuluki "Korea Utara dari Afrika." Bukan karena misil, tapi karena isolasi ekstrem yang menjebak warganya dalam keterputusan digital dan kontrol pemerintah yang mencekik.

Negara yang berjuang keras meraih kemerdekaan ini justru mengalami nasib ironis: hanya 1% penduduknya yang pernah mencicipi internet.

Saat dunia sudah gegap gempita dengan 5G, e-money, dan media sosial, ibu kota Eritrea, Asmara, seolah tak tersentuh modernitas.

Warga terlihat asyik mengobrol tanpa menatap ponsel, bukan karena sopan santun, tapi karena memang tak ada jaringan data atau ponsel pintar. Media sosial, Facebook, WhatsApp, hingga YouTube? Praktis absen dari keseharian.

Akses internet pun ibarat kemewahan tak terjangkau. Warnet yang jumlahnya bisa dihitung jari menawarkan koneksi lebih lambat dari gerakan kungkang dengan tarif mencekik: 100 Nakfa (sekitar ratusan ribu rupiah di kurs tertentu) per jam. Dunia online benar-benar mati suri.

Keanehan tak berhenti di situ. Masyarakat Eritrea sama sekali tak mengenal mesin ATM atau kartu kredit. Konsep menarik uang tunai dari mesin otomatis adalah hal asing.

Warga harus mengantre panjang di teller bank milik pemerintah. Itu pun dengan batas penarikan super ketat: maksimal 5.000 Nakfa per orang per bulan. Artinya, meskipun Anda punya tabungan miliaran Nakfa, Anda hanya bisa menarik jatah bulanan yang sangat kecil, memaksa warga menabung penarikan tunai selama bertahun-tahun untuk membeli barang mahal. Ekonomi tunai era 1950-an benar-benar hidup kembali.

Penderitaan terbesar rakyat Eritrea adalah kebijakan Wajib Militer Tak Terbatas atau Dinas Nasional.

Secara hukum, dinas ini hanya 18 bulan. Tapi, kenyataan di lapangan sungguh berbeda. Begitu masuk, masa tugas bisa berlangsung bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, tanpa batas waktu yang jelas.

Generasi muda digembleng di kamp militer Sawa. Transisi kedewasaan mereka ditandai desing peluru, bukan pesta perpisahan sekolah.

Setelah pelatihan, mereka dijadikan serdadu rendahan atau disebar ke proyek-proyek sipil seperti membangun jalan, bertani, atau bekerja di tambang milik militer. Gaji? Hanya uang saku yang nyaris tak cukup untuk hidup, apalagi menghidupi keluarga.

Seorang lulusan SMA dengan cita-cita insinyur bisa berakhir bertahun-tahun mengangkat senjata di perbatasan atau mencangkul di lahan militer. Para aktivis bahkan menyamakannya dengan bentuk perbudakan modern karena mencuri seluruh fase produktif generasi muda.

Putus asa dengan masa depan yang hanya menawarkan seragam militer dan kerja paksa tanpa ujung, lebih dari setengah juta orang Eritrea memilih melarikan diri menjadi pengungsi, mempertaruhkan nyawa melintasi gurun Sahara dan Laut Mediterania.

Mengapa Eritrea bisa terperosok sedalam ini? Jawabannya ada pada sejarah panjang yang penuh konflik.

Setelah lepas dari kolonial Italia dan administrasi Inggris, Eritrea dipaksa berfederasi dengan Ethiopia, lalu dianekasasi pada 1962. Penindasan ini memicu Perang Kemerdekaan selama 30 tahun (1961-1991).

Kemerdekaan akhirnya diraih pada 1993 dengan Isaias Afwerki—pemimpin gerilya—sebagai presiden pertama. Namun, bulan madu tak berlangsung lama. Perang perbatasan dengan Ethiopia kembali meletus pada 1998-2000.

Sejak saat itu, janji demokrasi dan pembangunan dikesampingkan. Pemerintah Afwerki berdalih ancaman perang masih mengintai, menggunakan mentalitas state of emergency ini sebagai justifikasi untuk memaksakan wajib militer seumur hidup, kontrol total atas media, dan isolasi digital yang membayangi hingga saat ini.
Komentar

Tampilkan

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *

TERKINI