![]() |
gambar Ilustrasi menggunakan AI |
Untuk isu-isu sensitif, buzzer menggunakan sistem perantara yang rumit. Klien tidak langsung berhubungan dengan buzzer, melainkan melalui middleman yang memiliki akses ke berbagai tim buzzer.
Rentang penghasilan buzzer sangat beragam. Ada yang hanya mendapat Rp 5.000 per tugas, tetapi ada pula koordinator yang meraup miliaran rupiah.
Sistem pembayaran menggunakan struktur sel yang ketat. Buzzer level bawah tidak pernah tahu berapa sebenarnya nilai proyek dan siapa klien sesungguhnya. Informasi dibatasi ketat untuk melindungi identitas klien.
Selain memanfaatkan manusia, buzzer juga menggunakan teknologi canggih. Ada platform online yang memungkinkan siapa saja menambah follower atau komentar dengan deposit minimal Rp 20.000-100.000.
Yang lebih canggih adalah phone farming sebuah hardware berbentuk box berisi 20 handphone yang terhubung ke PC. Software khusus mengontrol semua ponsel untuk melakukan tugas buzzer seperti memberikan like, komentar, atau meramaikan ulasan.
Industri buzzer tidak melulu soal politik. Ada segmen "buzzer halus" yang melibatkan ibu-ibu rumah tangga untuk mempromosikan produk kecantikan, makanan, atau menghadiri acara sebagai "buzzer visit."
Temuan ini menyadarkan betapa sulitnya membedakan informasi asli dari manipulasi di media sosial. Buzzer tidak akan berhasil jika hanya beredar di kalangan mereka sendiri. Keberhasilan diukur dari seberapa banyak orang awam yang tertarik membahas dan berkontribusi pada isu yang mereka mainkan.
Masyarakat perlu lebih jeli, banyak membaca, dan berdiskusi untuk memahami mana informasi yang benar-benar bermakna dan mana yang hasil rekayasa. Di era informasi berlimpah ini, kemampuan literasi digital menjadi kunci untuk tidak terjebak dalam manipulasi opini.
No comments:
Post a Comment