![]() |
Ilustrasi CSR |
Pemerintah Kota Pekalongan terlihat
semakin gencar menyelenggarakan kegiatan-kegiatan koordinasi berkaitan dengan
penekanan perhatian terhadap percemaran sungai di Pekalongan. Penyampaian pengetahuan
mengenai pengelolaan sungai, perundang-undangan yang berkaitan dengan
pelestarian lingkungan, rantai komando penanggulangan bencana, metode
pengolahan limbah sederhana, dan pembentukan suatu forum peduli sungai menjadi rangkaian deret acara yang telah diselenggarakannya
baru-baru ini. Suatu upaya untuk menunjukkan political will yang cukup berarti,
ketika tudingan masyarakat akan lemahnya pemberlakuan ketegasan hukum menjadi
potensi pencarian kambing hitam.
Sementara para pelaku regulasi
bisa bernafas lega sejenak, para pengusaha masih tampak memerankan perilaku anak
nakal di tengah kegerahan masyarakat Kota Pekalongan akan pencemaran Kali Loji.
Terlalu minimnya jumlah kehadiran para pengusaha batik dalam rapat-rapat
koordinasi, kelangkaan penyampaian aspirasi, dan masih banyaknya dari kalangan
mereka yang belum berizin menjadi jajaran potensi untuk dijadikan daftar
kealpaan. Masihkah mereka akan semakin menjadi anak bandel ketika harus berkelit
pula dalam pelaksanaan amanat perundangan tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan (Corporate Social Resposibility/CSR)?
“…belum ada peraturan yang bisa
dijadikan sebagai payung hukum Perda CSR, karena Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana diamanahkan oleh
Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor: 40 Tahun 2007 sampai saat ini belum
selesai dibahas di DPR. Jika pun Perda mengacu pada Peraturan Menteri BUMN
tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan, Undang-Undang Perseroan
Terbatas, Undang-Undang Penanaman Modal, atau Undang-Undang Minyak dan Gas
Bumi. Keempat peraturan tersebut bersifat wajib pada domain perusahaan yang
berbeda, mulai dari status, jenis usaha, cakupan, dan lokasi perusahaan” ujar
Rahmat Rahmatullah (konsultan CSR) dalam website-nya http://www.rahmatullah.net/2013/05/regulasi-csr-di-indonesia.html.
Kiranya cukup relevan bila
Sekretaris Daerah Kota Pekalongan, Dwi Ari Putranto, MSE mengisyaratkan “…perda
tersebut belum bisa ditegakkan”
Namun, apakah mereka tetap
bertahan pada perilaku yang tampak menggejala umum, seperti: kelangkaan
pemilikan Standar Operasional Prosedur mengenai CSR dan pemilikan divisi khusus
CSR, tiadanya kesiapan SDM pengelola CSR. Terkecuali, mewujudkan kegiatan yang
berkaitan dengan CSR dalam bentuk pemberian sumbangan belaka, yang bersifat
musiman dan tidak mampu mencerminkan perilaku yang diamanatkan undang-undang,
terutama realisasi konsep “Tanggung
Jawab Berkelanjutan.” Akankah mereka masih memperpanjang rangkaian dosa-dosa
mereka, sementara masih ada kesempatan untuk melakukan upaya-upaya yang lebih
baik terhadap lingkungan sekitar?
CSR merupakan wahana bagi
pengusaha untuk melakukan tindakan penghimpunan dana dan pembangunan sarana dan
prasarana umum yang diabdikan untuk melakukan penekanan perhatian pengusaha pada
aspek sosial dan lingkungan, baik dalam kaitan operasi bisnis mereka dengan
masyarakat sekitar, maupun dalam interaksinya dengan pemerintah setempat
berdasarkan prinsip kesukarelaan.
Meskipun berkesan ideal,
setidaknya pengusaha bisa memetik manfaat, seperti: memperoleh citra positif di
kalangan masyarakat, dapat mengambil keputusan pada hal-hal yang bersifat
kritis, dan melakukan penghematan biaya produksi.
…mau kemanakah sebenarnya dirimu,
Wahai para pengusaha batik?
~Oleh: Arry Anand~
Post a Comment