![]() |
| gambar ilustrasi |
Ternyata marketing bukan jualan produk, tapi jualan realita”, yang membahas konsep realita sosial.
Realita sosial adalah kenyataan yang ada karena kesepakatan bersama dalam masyarakat. Sesuatu disebut “nyata” bukan semata-mata karena wujud fisiknya, melainkan karena manusia sepakat untuk mengakuinya.
Dalam dunia nyata, marketing berperan besar dalam membentuk realita sosial tersebut. Iklan, endorsement influencer, dan branding berupaya menanamkan persepsi bahwa suatu produk bukan hanya berguna, tetapi juga penting, keren, atau menjadi simbol identitas diri.
Konsumen tidak lagi membeli barang karena kebutuhan semata, melainkan karena ingin menjadi bagian dari realita sosial tertentu. Akibatnya, masyarakat terdorong untuk terus membeli dan mengonsumsi.
Masalah muncul ketika realita sosial yang dibangun bersinggungan dengan realita lain yang lebih objektif, seperti lingkungan dan keberlanjutan.
Masalah muncul ketika realita sosial yang dibangun bersinggungan dengan realita lain yang lebih objektif, seperti lingkungan dan keberlanjutan.
Data menunjukkan jutaan ponsel, ratusan ribu ton limbah plastik, tekstil, dan elektronik dibuang setiap hari. Budaya konsumsi yang dipacu oleh marketing membuat barang cepat usang, bahkan sengaja didesain agar sulit diperbaiki. Konsumen dipaksa membeli yang baru, sementara sampah terus menumpuk.
Para sosiolog membedakan realita sosial menjadi dua: objektif dan subjektif. Realita sosial objektif bersifat stabil, seperti hukum, uang, dan bahasa, yang memiliki konsekuensi nyata jika dilanggar. Sementara realita sosial subjektif hidup dalam pikiran individu, seperti anggapan tentang gengsi, keren, atau status sosial. Realita subjektif inilah yang paling sering dimanfaatkan oleh brand, karena mudah dibentuk dan diubah sesuai kepentingan bisnis.
Persaingan bisnis yang ketat juga melahirkan praktik seperti neuromarketing, yang memanfaatkan ilmu saraf untuk memengaruhi keputusan konsumen tanpa disadari. Emosi, memori, dan sistem penghargaan di otak dimanipulasi agar konsumen memiliki keterikatan emosional dengan merek tertentu. Meski efektif, praktik ini memunculkan pertanyaan etis: apakah wajar jika marketing mengendalikan pilihan manusia hingga ke level bawah sadar?
Namun, marketing tidak selalu bermakna negatif. Prinsip yang sama dapat digunakan untuk membangun realita sosial yang lebih baik, melalui pendekatan social marketing. Pendidikan, misalnya, dapat diposisikan sebagai sesuatu yang menarik dan relevan, bukan membosankan. Nilai-nilai positif bisa dipromosikan dengan strategi yang sama kuatnya seperti promosi produk komersial.
Pada akhirnya, realita sosial di zaman ini ada di tangan manusia sendiri. Marketing bisa menjadi alat perusak jika hanya mengejar profit, tetapi juga bisa menjadi sarana membangun masyarakat yang lebih sadar, beretika, dan berkelanjutan. Pertanyaannya bukan lagi “apa yang kita beli,” melainkan “realita seperti apa yang sedang kita dukung.”
Para sosiolog membedakan realita sosial menjadi dua: objektif dan subjektif. Realita sosial objektif bersifat stabil, seperti hukum, uang, dan bahasa, yang memiliki konsekuensi nyata jika dilanggar. Sementara realita sosial subjektif hidup dalam pikiran individu, seperti anggapan tentang gengsi, keren, atau status sosial. Realita subjektif inilah yang paling sering dimanfaatkan oleh brand, karena mudah dibentuk dan diubah sesuai kepentingan bisnis.
Persaingan bisnis yang ketat juga melahirkan praktik seperti neuromarketing, yang memanfaatkan ilmu saraf untuk memengaruhi keputusan konsumen tanpa disadari. Emosi, memori, dan sistem penghargaan di otak dimanipulasi agar konsumen memiliki keterikatan emosional dengan merek tertentu. Meski efektif, praktik ini memunculkan pertanyaan etis: apakah wajar jika marketing mengendalikan pilihan manusia hingga ke level bawah sadar?
Namun, marketing tidak selalu bermakna negatif. Prinsip yang sama dapat digunakan untuk membangun realita sosial yang lebih baik, melalui pendekatan social marketing. Pendidikan, misalnya, dapat diposisikan sebagai sesuatu yang menarik dan relevan, bukan membosankan. Nilai-nilai positif bisa dipromosikan dengan strategi yang sama kuatnya seperti promosi produk komersial.
Pada akhirnya, realita sosial di zaman ini ada di tangan manusia sendiri. Marketing bisa menjadi alat perusak jika hanya mengejar profit, tetapi juga bisa menjadi sarana membangun masyarakat yang lebih sadar, beretika, dan berkelanjutan. Pertanyaannya bukan lagi “apa yang kita beli,” melainkan “realita seperti apa yang sedang kita dukung.”



No comments:
Post a Comment