![]() |
gambar ilustrasi dibuat dengan AI |
Lembaga keuangan internasional IMF memperingatkan bahwa kondisi dunia saat ini bukan sekadar perlambatan ekonomi biasa, melainkan sebuah badai geopolitik yang bisa mengguncang fondasi pertumbuhan global.
Dalam laporan terbarunya, IMF menyebut dunia kini menghadapi fenomena “multi-layered uncertainty” — atau ketidakpastian bertingkat. Krisis di satu wilayah dapat menyebar cepat dan menciptakan efek domino ke seluruh dunia.
Dari perang di Ukraina, ketegangan di Laut Cina Selatan, hingga konflik di Selat Hormus, semuanya berpotensi mengganggu rantai pasok, energi, dan stabilitas keuangan global.
Tak hanya perang dan sanksi, ketidakpastian ini juga muncul dari rivalitas teknologi antara Amerika Serikat dan Cina, polarisasi politik di berbagai negara, serta tekanan inflasi dan energi yang belum mereda. Kombinasi faktor-faktor itu membuat banyak pemerintah dan investor menahan langkah, menunda investasi, dan memperlambat konsumsi.
Tak hanya perang dan sanksi, ketidakpastian ini juga muncul dari rivalitas teknologi antara Amerika Serikat dan Cina, polarisasi politik di berbagai negara, serta tekanan inflasi dan energi yang belum mereda. Kombinasi faktor-faktor itu membuat banyak pemerintah dan investor menahan langkah, menunda investasi, dan memperlambat konsumsi.
IMF memperingatkan, jika tren ini terus berlanjut, pertumbuhan ekonomi dunia bisa melambat hingga 2,4 persen pada 2026—angka terendah dalam satu dekade terakhir.
Dampaknya terasa nyata: harga energi melonjak, biaya hidup meningkat, dan lapangan kerja terancam. Negara-negara berkembang menjadi pihak paling rentan terhadap tekanan ini.
Eropa kini terbebani oleh biaya energi dan pengeluaran militer yang meningkat, sementara Asia Tenggara terjebak di antara persaingan dua kekuatan besar dunia: Amerika Serikat dan Cina. Di Afrika dan Amerika Latin, gangguan pasokan pangan menimbulkan krisis baru yang berpotensi memicu ketidakstabilan sosial.
Eropa kini terbebani oleh biaya energi dan pengeluaran militer yang meningkat, sementara Asia Tenggara terjebak di antara persaingan dua kekuatan besar dunia: Amerika Serikat dan Cina. Di Afrika dan Amerika Latin, gangguan pasokan pangan menimbulkan krisis baru yang berpotensi memicu ketidakstabilan sosial.
Lebih jauh, IMF memperingatkan ancaman fragmentasi ekonomi global — sebuah era baru di mana dunia terbagi menjadi beberapa blok ekonomi yang saling bersaing.
Blok pertama dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutunya; blok kedua oleh Cina, Rusia, dan aliansinya; sementara blok ketiga — yang netral terdiri dari negara-negara Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin.
Jika tren ini terus mendalam, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global dapat tergerus hingga 7 persen dalam satu dekade.
Blok pertama dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutunya; blok kedua oleh Cina, Rusia, dan aliansinya; sementara blok ketiga — yang netral terdiri dari negara-negara Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin.
Jika tren ini terus mendalam, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global dapat tergerus hingga 7 persen dalam satu dekade.
Fragmentasi ini tak hanya menghambat perdagangan internasional, tetapi juga mengancam laju inovasi teknologi dan investasi lintas batas.
Di tengah ketegangan global itu, Indonesia memiliki posisi yang unik dan strategis. Dengan kekayaan sumber daya alam, lokasi geografis di jalur perdagangan utama dunia, serta kapasitas diplomasi yang semakin kuat, Indonesia berpotensi menjadi penengah antara blok besar dunia.
Namun, peluang besar itu datang bersama risiko tinggi. Fluktuasi harga energi dan komoditas, tekanan geopolitik, hingga gangguan rantai pasok global menjadi tantangan nyata yang harus dihadapi dengan kebijakan ekonomi yang cermat dan diplomasi aktif.
Menurut IMF, negara-negara menengah seperti Indonesia perlu beradaptasi cepat, memperkuat ketahanan ekonomi domestik, dan menjaga keseimbangan hubungan dengan kekuatan global agar tidak terseret arus rivalitas geopolitik.
Namun, peluang besar itu datang bersama risiko tinggi. Fluktuasi harga energi dan komoditas, tekanan geopolitik, hingga gangguan rantai pasok global menjadi tantangan nyata yang harus dihadapi dengan kebijakan ekonomi yang cermat dan diplomasi aktif.
Menurut IMF, negara-negara menengah seperti Indonesia perlu beradaptasi cepat, memperkuat ketahanan ekonomi domestik, dan menjaga keseimbangan hubungan dengan kekuatan global agar tidak terseret arus rivalitas geopolitik.
IMF mengajukan lima langkah strategis bagi negara-negara yang ingin bertahan bahkan memanfaatkan krisis ini sebagai peluang:
- Diversifikasi ekonomi dan energi.
- Diplomasi aktif dan netral.
Gunakan posisi strategis Indonesia sebagai jembatan antara blok ekonomi besar. Bangun hubungan seimbang dengan semua pihak untuk menjaga stabilitas kawasan.
- Kesiapan menghadapi krisis.
- Kolaborasi regional dan global.
- Literasi publik dan transparansi kebijakan.
Peringatan IMF ini bukan sekadar alarm statistik. Ketidakpastian geopolitik kini menyentuh aspek paling mendasar dari kehidupan manusia — harga bahan pokok, pekerjaan, dan kesejahteraan. Dunia, kata IMF, sedang menghadapi ujian terbesar sejak krisis keuangan global 2008.
Namun, di tengah ancaman ini, Indonesia memiliki peluang besar untuk tampil sebagai contoh negara menengah yang tangguh dan adaptif.
Dengan strategi diplomasi cerdas, kebijakan ekonomi yang berimbang, dan semangat kolaboratif, Indonesia bisa menjadi aktor utama yang tidak hanya bertahan, tetapi juga ikut membentuk arah ekonomi dunia yang baru.
No comments:
Post a Comment