![]() |
Gambar Ilustrasi Dibuat Dengan AI |
Fenomena ini menandai munculnya paradoks ekonomi sebuah jurang antara data yang tampak positif dan kenyataan yang kian menekan masyarakat.
kondisi ketika ekonomi tumbuh, tetapi tidak disertai peningkatan lapangan kerja. Otomatisasi dan penggunaan teknologi menggantikan peran manusia dalam produksi, membuat kenaikan PDB tidak lagi sejalan dengan kesejahteraan rakyat.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu berarti peningkatan kesejahteraan. Di balik angka-angka yang menggembirakan, ada kesenjangan struktural yang belum terselesaikan.
Pemerintah dikabarkan memindahkan dana hingga Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank BUMN. Langkah itu disertai kebijakan penurunan suku bunga oleh bank sentral. Biasanya, kebijakan semacam ini ditempuh ketika ekonomi sedang melambat atau uang sulit berputar.
Jika langkah ini diambil di tengah klaim pertumbuhan ekonomi yang kuat, maka ada dua kemungkinan: pemerintah sedang menyiapkan bantalan menghadapi badai ekonomi, atau sesungguhnya mesin ekonomi sudah kehilangan tenaga jauh sebelum angka-angka resmi mengakuinya.
Pada masa pandemi COVID-19, banyak masyarakat memiliki tabungan tambahan akibat penurunan aktivitas ekonomi. Tabungan inilah yang menopang daya beli setelah pandemi mereda. Namun kini, cadangan itu kian menipis.
Data global menunjukkan tingkat tabungan rumah tangga di banyak negara, termasuk Indonesia, merosot ke titik terendah dalam satu dekade. Di saat yang sama, harga kebutuhan pokok terus naik. Inflasi beras bahkan sempat menembus 15 persen pada Januari 2024.
Kondisi ini menjadi sinyal menuju fase stagflasi — situasi di mana inflasi tinggi berjalan beriringan dengan stagnasi ekonomi.
Krisis ekonomi, seperti dalam sejarah sebelumnya, kerap menjadi ajang transfer kekayaan dari kelompok yang tidak siap ke mereka yang siap. , kaum kaya digambarkan seperti pemain catur yang memahami ritme permainan: mereka tahu kapan harus mundur, kapan membeli, dan kapan menunggu.
Sementara masyarakat kelas menengah ke bawah, yang tak memiliki cadangan likuid maupun strategi, terpaksa menjadi korban dari siklus tersebut.
“Uang tidak pernah hilang saat krisis,” kata narator. “Ia hanya berpindah tangan dari yang tidak siap ke yang siap.”
Masyarakat diimbau menjaga kestabilan penghasilan, tidak gegabah berpindah pekerjaan, dan tidak hanya bergantung pada satu sumber pemasukan. Pengelolaan utang konsumtif juga menjadi prioritas, diiringi pembangunan dana darurat minimal tiga hingga dua belas bulan biaya hidup.
Pada tahun 2026 bisa menjadi titik balik besar bagi ekonomi global. Namun, resesi bukan akhir dunia. “Dunia sudah berkali-kali melewati fase serupa“yang membedakan hanya siapa yang siap dan siapa yang tenggelam.”
Krisis, dalam pandangan ini, adalah masa seleksi alam bagi perekonomian. Bisnis lemah akan tumbang, tetapi dari reruntuhannya akan tumbuh peluang baru bagi mereka yang tangguh dan adaptif.
Pesannya jelas: badai mungkin tak terhindarkan, tapi kesiapan dan ketenangan akan menentukan siapa yang mampu berlayar melewatinya.
kondisi ketika ekonomi tumbuh, tetapi tidak disertai peningkatan lapangan kerja. Otomatisasi dan penggunaan teknologi menggantikan peran manusia dalam produksi, membuat kenaikan PDB tidak lagi sejalan dengan kesejahteraan rakyat.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu berarti peningkatan kesejahteraan. Di balik angka-angka yang menggembirakan, ada kesenjangan struktural yang belum terselesaikan.
Pemerintah dikabarkan memindahkan dana hingga Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank BUMN. Langkah itu disertai kebijakan penurunan suku bunga oleh bank sentral. Biasanya, kebijakan semacam ini ditempuh ketika ekonomi sedang melambat atau uang sulit berputar.
Jika langkah ini diambil di tengah klaim pertumbuhan ekonomi yang kuat, maka ada dua kemungkinan: pemerintah sedang menyiapkan bantalan menghadapi badai ekonomi, atau sesungguhnya mesin ekonomi sudah kehilangan tenaga jauh sebelum angka-angka resmi mengakuinya.
Pada masa pandemi COVID-19, banyak masyarakat memiliki tabungan tambahan akibat penurunan aktivitas ekonomi. Tabungan inilah yang menopang daya beli setelah pandemi mereda. Namun kini, cadangan itu kian menipis.
Data global menunjukkan tingkat tabungan rumah tangga di banyak negara, termasuk Indonesia, merosot ke titik terendah dalam satu dekade. Di saat yang sama, harga kebutuhan pokok terus naik. Inflasi beras bahkan sempat menembus 15 persen pada Januari 2024.
Kondisi ini menjadi sinyal menuju fase stagflasi — situasi di mana inflasi tinggi berjalan beriringan dengan stagnasi ekonomi.
Krisis ekonomi, seperti dalam sejarah sebelumnya, kerap menjadi ajang transfer kekayaan dari kelompok yang tidak siap ke mereka yang siap. , kaum kaya digambarkan seperti pemain catur yang memahami ritme permainan: mereka tahu kapan harus mundur, kapan membeli, dan kapan menunggu.
Sementara masyarakat kelas menengah ke bawah, yang tak memiliki cadangan likuid maupun strategi, terpaksa menjadi korban dari siklus tersebut.
“Uang tidak pernah hilang saat krisis,” kata narator. “Ia hanya berpindah tangan dari yang tidak siap ke yang siap.”
Masyarakat diimbau menjaga kestabilan penghasilan, tidak gegabah berpindah pekerjaan, dan tidak hanya bergantung pada satu sumber pemasukan. Pengelolaan utang konsumtif juga menjadi prioritas, diiringi pembangunan dana darurat minimal tiga hingga dua belas bulan biaya hidup.
Pada tahun 2026 bisa menjadi titik balik besar bagi ekonomi global. Namun, resesi bukan akhir dunia. “Dunia sudah berkali-kali melewati fase serupa“yang membedakan hanya siapa yang siap dan siapa yang tenggelam.”
Krisis, dalam pandangan ini, adalah masa seleksi alam bagi perekonomian. Bisnis lemah akan tumbang, tetapi dari reruntuhannya akan tumbuh peluang baru bagi mereka yang tangguh dan adaptif.
Pesannya jelas: badai mungkin tak terhindarkan, tapi kesiapan dan ketenangan akan menentukan siapa yang mampu berlayar melewatinya.
No comments:
Post a Comment