-->

Gerakan Nurani Bangsa Desak Pemerintah Serius Tindak lanjuti Tuntutan 17+8

Pekalongan News
Friday, September 05, 2025, September 05, 2025 WIB Last Updated 2025-09-05T00:44:08Z
Gerakan Nurani Bangsa Desak Pemerintah Serius Tindaklanjuti Tuntutan 17+8
Para tokoh lintas iman dari Gerakan Nurani Bangsa (GNB) berkumpul di Griya Gus Dur untuk menyampaikan pesan kebangsaan. (Foto: Dok. Gerakan Nurani Bangsa)
Pekalongannews, Jakarta - Sejumlah tokoh lintas agama dan akademisi yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB) menyampaikan keprihatinan atas situasi nasional yang memanas akibat gelombang demonstrasi di berbagai daerah. Mereka mendesak pemerintah menghentikan kekerasan aparat, memperbaiki tata kelola pemerintahan, dan menata ulang kebijakan yang dinilai jauh dari kepentingan rakyat.

Pesan kebangsaan GNB dibacakan Alissa Wahid di Jakarta, Rabu (3/9/2025). Dalam pernyataannya, GNB menekankan bahwa “kemanusiaan dan keberpihakan kepada rakyat harus menjadi landasan utama kebijakan negara.”

GNB meminta Presiden dan seluruh jajaran pemerintahan menghentikan tindakan represif terhadap demonstran. Mereka menilai penggunaan kekerasan yang berlebihan hanya memperparah kemarahan publik.

“Pemerintah harus memimpin dengan etika, asas kepatutan, dan kepemimpinan yang bersih,” ujar Alissa. Ia juga mendorong Polri mengevaluasi kepemimpinan dan kebijakannya agar tidak menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.

Beberapa tokoh menyoroti ketimpangan alokasi APBN. Anggaran besar untuk sektor pertahanan dan kepolisian dinilai tidak sebanding dengan kebutuhan pendidikan, pertanian, dan kesejahteraan sosial.

“Lebih dari 40 juta petani di Indonesia. Tapi anggaran pertahanan dan kepolisian jauh lebih tinggi. Ini harus ditinjau ulang,” tegas Laode Syarif.

Eris Seda menilai persoalan Indonesia bukan sekadar perilaku individu pejabat, melainkan masalah sistemik yang memungkinkan korupsi, kolusi, dan nepotisme terus berlangsung.

“Reformasi tidak bisa hanya bergantung pada siapa presidennya atau ketua DPR-nya. Sistemnya harus memaksa pejabat bertindak sesuai hukum,” ujarnya.

Beberapa tokoh, seperti Romo Magnis dan Romo Setyo, mengingatkan bahwa kekuasaan seharusnya digunakan untuk melayani kepentingan rakyat, bukan kelompok tertentu. Mereka juga mengingatkan agar siklus kekerasan aparat–rakyat segera dihentikan.

“Kalau aparat tidak menggunakan kekerasan, rakyat juga cenderung tidak merusak. Ini harus dimulai dari atas,” kata Eris Seda.

Sebagai penutup, Kardinal Suharo mengungkap keprihatinan atas rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Ia menyoroti data BPS yang menyebut garis kemiskinan Rp 21.000 per hari.

“Dengan angka ini, kita menutup-nutupi kenyataan. Bagaimana rakyat bisa percaya, jika data dasarnya saja sudah tidak realistis?” ujarnya.

GNB berharap pemerintah tidak hanya mendengar kritik, tetapi juga menindaklanjuti masukan demi keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Komentar

Tampilkan

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *

TERKINI