googlesyndication.com

0 Comment
Realitas Kekinian Di Buku Puisi “Sajak-Sajak Dibuang Sayang”
Padang Panjang
Penulis novel “Rinai Kabut Singgalang” (2011), Muhammad Subhan, tahun ini merilis buku terbarunya, sebuah kumpulan puisi “Sajak-Sajak Dibuang Sayang”. Buku itu menghimpun 117 puisi yang ia tulis selama kurun waktu 1998-2014.

Menurut Muhammad Subhan, Kamis (23/04/2015), seluruh puisi di buku tersebut adalah puisi-puisi karyanya yang telah terbit di berbagai media massa, baik lokal maupun nasional. Buku itu diterbitkan FAM Publishing, Divisi Penerbitan Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia.

“Sajak-Sajak Dibuang Sayang” merupakan buku puisi yang ditulis Muhammad Subhan di awal-awal proses kreatifnya menulis puisi. Ia mengaku bahwa sebagian besar puisi-puisi itu sederhana, namun telah melalui kontemplasi yang panjang, sebab ditulis dari beragam peristiwa yang terjadi di sekitarnya.

Realitas kekinian yang sedang terjadi di Indonesia maupun di dunia dicatat dalam sejumlah puisi-puisi di buku ini, di antaranya soal Gaza, Palestina, yang belum merdeka dari penjajahan Yahudi Israel. Adalah tepat kiranya jika Konferensi Asia Afrika (KAA) mendesak kemerdekaan Palestina. //gaza, walau aku jauh kau jauh/ tetapi denyut nadimu menjadi nadiku/ di nadi itu darahmu darahku menyatu/. (“Gaza, Lukamu Lukaku”, hlm. 23).

Keprihatinannya terhadap Palestina adalah keprihatinan ketika menyaksikan anak-anak Gaza tidak berdosa harus menjadi korban kebiadaban tentara zionis Israel. Dia menulis: //rudal-rudal yang dikirim zionis itu/ akan kami telan dan menguburnya di jantung kami/ lalu kami muntahkan kembali ke jantung-jantung mereka...//. (“Anak-Anak Gaza”, hlm. 24).

Ia juga memotret sengkarutnya masalah hukum dan keadilan di Indonesia. Hukum tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. /kami temukan patung dewi keadilan/ yang telah patah satu tangannya/ di tangannya yang lain tikus, kecoa, ular, dan kelabang lapar,/ membangun rumah kecantikan/. (“Kota di Selembar Kuarto”, hlm. 27).

Begitupun, dalam setiap kali Pemilu, rakyat dianggapnya selalu menjadi “address” janji-janji palsu politisi yang menghalalkan berbagai cara untuk meraih kursi jabatan. /rakyat/ adalah kita/ yang menjadi kertas suara/ yang menjadi kantong janji pilitisi/ yang menjadi larangan bila sakit/ yang menjadi pungli bila masuk sekolah/ yang menjadi apa, entahlah!/. (“Rakyat Adalah Kita”, hlm. 34).

Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang naik dan diikuti kenaikan harga-harga kebutuhan barang pokok lainnya membuat rakyat menjerit. Hidup semakin susah. Orang susah di sana-sini. Lalu, dampaknya, unjuk rasa menuntut keadilan pemerintah terjadi di mana-mana. Mahasiswa turun ke jalan. Tak jarang terjadi bentrok antara mahasiswa dan aparat. /harga unjuk rasa ini/ terlalu mahal, kawan/ lebih mahal dari BBM/ yang harganya naik malam tadi/. (“Demo BBM”, hlm. 69).

Realitas lainnya yang direkam Muhammad Subhan lewat puisinya adalah tentang kebakaran hutan yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, salah satunya Sumatera. Pembakaran hutan secara illegal itu merusak udara sehingga menciptakan polusi yang menyesakkan dada. /Langit api menyala-nyala/ Langit senja membara/. (“Kebakaran Hutan”, hlm. 99).

Begitupun, soal banjir di Ibu Kota Jakarta setiap kali hujan tiba, termasuk sejumlah daerah lainnya, membuat dirinya miris terhadap lemahnya sistem penanganan banjir di Indonesia. Namun, dari banjir, maupun musibah lainnya, ia memberi pesan lewat puisinya agar manusia lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, sebab bencana adalah salah satu peringatan Tuhan agar manusia lebih mencintai alam. /aku turun menjadi air/ membanjir di tanah kotamu/ aku turun menjadi air/ agar kausapa Dia/ dalam suka dan duka/. (“Gumam Banjir”, hlm. 121).

Selain beragam realitas sosial, kemanusiaan, dan lingkungan itu, Muhammad Subhan juga menulis puisi dengan tema-tema lokalitas. Di antaranya dapat dibaca pada puisi: “Batang Tongar” (hlm. 19), “Lubang Jepang” (hlm. 25), “Kuta Raja” (hlm. 29), “Serune Kalee” (hlm. 31), “Lemang Tapai” (hlm. 36), “Bukit Tui” (hlm. 38), “Pisang Sale” (hlm. 41), “Kampung Pasir” (hlm. 44), “Rendang Padang” (hlm. 45), “Rimbo Panti” (hlm. 75), “Kopi Aie Kawa” (hlm. 77), dan sejumlah puisi lainnya.

Muhammad Subhan lahir di Medan, 3 Desember 1980. Ayahnya seorang Aceh (Sigli) dan Ibu Minang (Pasaman Barat). Sejak tahun 2000 ia bekerja sebagai wartawan di sejumlah media massa di Padang, Sumatera Barat. Ia alumni Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Imam Bonjol Padangpanjang.

Pada tahun 2009-2012, ia menjadi Manajer Rumah Puisi Taufiq Ismail di Aie Angek, Tanah Datar, Sumatera Barat, sekaligus menjadi Instruktur Sanggar Sastra Siswa Rumah Puisi. Setelah tidak bekerja di Rumah Puisi, ia fokus menulis dan berkegiatan di Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia yang berpusat di Pare, Kediri, Jawa Timur. (rel)

Post a Comment

 
Top