-->

Gerai Ritel Berguguran: Fenomena "Rojali" dan Kelesuan Daya Beli Kelas Menengah

Pekalongan News
Tuesday, August 05, 2025, August 05, 2025 WIB Last Updated 2025-08-05T14:42:56Z
Gerai Ritel Berguguran: Fenomena "Rojali" dan Kelesuan Daya Beli Kelas Menengah
Gambar Ilustrasi
Pekalongannews - Fenomena "Rojali," atau Rombongan Jarang Beli, menjadi penanda suram bagi industri retail Tanah Air. Di tengah hiruk-pikuk mal yang ramai, banyak pengusaha retail menjerit. Omset anjlok, sementara para pengunjung hanya datang untuk "cuci mata" dan menikmati sejuknya AC. Tanda-tanda melemahnya daya beli ini semakin jelas terlihat dari data-data ekonomi yang mengkhawatirkan.

Dalam beberapa bulan terakhir, banyak nama besar di industri retail modern terpaksa gulung tikar. Matahari menutup dua tokonya hanya dalam sebulan. Nasib serupa menimpa Transmart yang kini hanya menyisakan 18 gerai, bahkan mengubah namanya menjadi Great Mall untuk bertahan. 

Bahkan Ranch Market, yang dimiliki salah satu orang terkaya di Indonesia, terpaksa menutup tujuh tokonya. Di sektor ritel lain, GS Retail, GS The Fresh, dan GS Supermarket juga turut menyusul.

Padahal, data kunjungan ke mal menunjukkan peningkatan, bahkan diperkirakan bisa naik 20-30% hingga akhir tahun. Namun, angka-angka ini justru menjadi bumerang. Kunjungan yang tinggi tidak sejalan dengan daya beli yang terus menurun, terutama di kalangan kelas menengah.

Data inflasi inti menjadi alarm lain. Angka inflasi inti turun dari 2,5% pada April 2025 menjadi 2,32% pada Juli 2025. Penurunan ini mengindikasikan berkurangnya permintaan konsumen. Situasi ini sangat mengkhawatirkan karena 54% pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia sangat bergantung pada konsumsi.

Namun, bukan berarti masyarakat berhenti berbelanja. Ada pergeseran pola konsumsi yang signifikan. Sektor e-commerce menunjukkan pertumbuhan masif. Transaksi online melonjak dari Rp 205 triliun pada 2019 menjadi Rp 487 triliun pada 2024. Konsumen datang ke mal hanya untuk melihat produk, lalu membelinya secara daring dengan harga yang lebih murah.

Selain itu, terjadi pergeseran belanja dari retail ke sektor Food and Beverage (FnB) , namun sektor FnB justru naik 10%. Tak heran, banyak mal kini beradaptasi dengan menambah lebih banyak tenant makanan dan minuman untuk menarik pengunjung.

Masyarakat juga mulai selektif dalam membelanjakan uangnya. Mereka beralih dari konsumsi ke investasi

Jumlah investor pasar modal naik 10 kali lipat sejak 2018, mencapai 17 juta orang. Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan juga meningkat dari Rp 8.700 triliun pada 2024 menjadi Rp 9.300 triliun pada 2025. Ini menunjukkan masyarakat lebih memilih menyimpan dan menginvestasikan uangnya daripada menggunakannya untuk belanja konsumtif.

Di balik fenomena ini, kelas menengah, yang menjadi tulang punggung 70% konsumsi Indonesia, berada di ujung tanduk. Mereka terjebak dalam "sandwich generation," menanggung beban hidup orang tua dan anak-anak. Beban pajak yang ditanggung juga terus meningkat, dari 3,4% pada 2019 menjadi 4,5% pada 2024.

Pemerintah tampak lebih fokus pada UMKM, sementara pengusaha menengah, yang sebenarnya lebih banyak berkontribusi pada pajak, merasa terabaikan. Belum lagi dampak dari demonstrasi yang kerap terjadi dan berujung pada penutupan tambang dan pabrik, yang mengurangi lapangan kerja dan sirkulasi uang di masyarakat.

Jika tren ini terus berlanjut dan kelas menengah semakin terancam, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi akan anjlok di bawah 5%. Angka ini jauh dari target ambisius 8% seperti yang dicapai Vietnam. 

Fenomena "Rojali" bukan sekadar lelucon, melainkan sinyal peringatan serius tentang melemahnya fondasi ekonomi konsumsi Indonesia.
Komentar

Tampilkan

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *

TERKINI