![]() |
Gambar Ilustrasi |
Fenomena ini menjadi cerminan tekanan yang semakin besar di dunia kerja. Tak hanya menunjukkan ketimpangan antara jumlah pelamar dan ketersediaan lapangan kerja, peristiwa tersebut juga mengungkap kurangnya kesiapan sistem rekrutmen yang masih konvensional di tengah era digital.
Ekonom dan pengamat ketenagakerjaan menilai kondisi ini bukan sekadar krisis jangka pendek, tetapi bagian dari job disruption perubahan mendasar dalam dunia kerja akibat teknologi, otomatisasi, dan pergeseran ekonomi global.
“Bukan hanya soal PHK atau lapangan kerja yang menyusut. Kita juga menghadapi perubahan sifat pekerjaan itu sendiri. Keterampilan lama tak lagi relevan, sementara keterampilan baru belum banyak dimiliki,” ujar seorang pengamat tenaga kerja dalam diskusi yang disiarkan publik baru-baru ini.
Di sisi lain, negara-negara tetangga seperti Vietnam, Kamboja, hingga Bangladesh justru mampu menyerap banyak tenaga kerja melalui sektor industri padat karya. Indonesia, menurut para ahli, masih terkendala persoalan klasik seperti birokrasi, regulasi yang membebani, hingga ketidakpastian iklim investasi.
“Generasi muda tidak bisa lagi hanya mengandalkan ijazah. Kemampuan beradaptasi, belajar mandiri, dan daya tahan mental justru akan menjadi modal utama ke depan,” ujarnya.
Solusi jangka panjang, menurut para ahli, tak bisa hanya mengandalkan pemerintah atau institusi pendidikan.
Peran keluarga, industri, hingga masyarakat luas sangat krusial. Investasi pada manusia, terutama dalam bentuk pelatihan vokasi, peningkatan literasi digital, dan pembinaan mental, dinilai sebagai langkah paling strategis.
“Jika tidak ingin menjadi penonton dalam perubahan besar ini, kita harus menyiapkan generasi yang siap menjadi penggerak perubahan, bukan hanya penumpang,” pungkasnya.
“Jika tidak ingin menjadi penonton dalam perubahan besar ini, kita harus menyiapkan generasi yang siap menjadi penggerak perubahan, bukan hanya penumpang,” pungkasnya.
No comments:
Post a Comment