Pekalongannews, Damaskus - Periode kelam yang berlangsung selama lebih dari lima dekade akhirnya berakhir. Presiden Suriah Bashar al-Assad tumbang dalam pergolakan yang menandai titik balik penting dalam sejarah negara ini.
Kejatuhan Bashar al-Assad bukan sekadar pergantian kekuasaan, melainkan runtuhnya dinasti politik yang telah menggenggam kendali Suriah sejak 1970-an. Bermula dari kekuasaan ayahnya, Hafez al-Assad, rezim ini dikenal dengan pola kepemimpinan otoriter yang menindas setiap bentuk oposisi.
Perjalanan panjang menuju keruntuhan dimulai pada 2011, ketika gelombang Arab Spring memantik api perlawanan. Protes damai yang semula dilakukan rakyat Suriah mendapat respons brutal dari rezim, memicu konflik bersenjata berkepanjangan yang menghancurkan infrastruktur dan struktur sosial negara.
Babak Terakhir Konflik
Pada 8 Desember 2024, Damaskus akhirnya jatuh ke tangan pemberontak, terutama kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Kejatuhan ibu kota ini menandai titik akhir dari kekuasaan Assad yang selama ini dipertahankan dengan kekerasan dan represi.
Laporan menunjukkan Assad melarikan diri menggunakan pesawat, meninggalkan negara yang telah lama dia kuasai dengan kebijakan represif. Kepergiannya mencerminkan keruntuhan total rezim yang selama ini menindas suara rakyat.
Tantangan Masa Depan
Meski kejatuhan Assad membuka babak baru, ketidakpastian masih menyelimuti masa depan Suriah. Kekosongan kekuasaan berpotensi memicu persaingan antarkelompok bersenjata yang selama ini bersatu melawan rezim.
Negara-negara tetangga pun mulai was-was. Ancaman penyebaran ekstremisme dan lonjakan pengungsi menjadi kekhawatiran utama, terutama bagi Turki dan Lebanon.
Runtuhnya rezim Assad tidak sekadar perubahan internal Suriah. Ia menggetarkan konstelasi politik Timur Tengah, memaksa negara-negara pendukung seperti Rusia dan Iran untuk segera menyesuaikan strategi.
Satu hal yang pasti: sejarah Suriah telah mencatat babak baru. Pertanyaannya kini, akankah babak baru ini membawa harapan atau justru konflik berkepanjangan?
Perjalanan panjang menuju keruntuhan dimulai pada 2011, ketika gelombang Arab Spring memantik api perlawanan. Protes damai yang semula dilakukan rakyat Suriah mendapat respons brutal dari rezim, memicu konflik bersenjata berkepanjangan yang menghancurkan infrastruktur dan struktur sosial negara.
Babak Terakhir Konflik
Pada 8 Desember 2024, Damaskus akhirnya jatuh ke tangan pemberontak, terutama kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Kejatuhan ibu kota ini menandai titik akhir dari kekuasaan Assad yang selama ini dipertahankan dengan kekerasan dan represi.
Laporan menunjukkan Assad melarikan diri menggunakan pesawat, meninggalkan negara yang telah lama dia kuasai dengan kebijakan represif. Kepergiannya mencerminkan keruntuhan total rezim yang selama ini menindas suara rakyat.
Tantangan Masa Depan
Meski kejatuhan Assad membuka babak baru, ketidakpastian masih menyelimuti masa depan Suriah. Kekosongan kekuasaan berpotensi memicu persaingan antarkelompok bersenjata yang selama ini bersatu melawan rezim.
Negara-negara tetangga pun mulai was-was. Ancaman penyebaran ekstremisme dan lonjakan pengungsi menjadi kekhawatiran utama, terutama bagi Turki dan Lebanon.
Runtuhnya rezim Assad tidak sekadar perubahan internal Suriah. Ia menggetarkan konstelasi politik Timur Tengah, memaksa negara-negara pendukung seperti Rusia dan Iran untuk segera menyesuaikan strategi.
Satu hal yang pasti: sejarah Suriah telah mencatat babak baru. Pertanyaannya kini, akankah babak baru ini membawa harapan atau justru konflik berkepanjangan?
Post a Comment