googlesyndication.com

0 Comment

Saat duduk di pucuk atap rumah di akhir malam, seekor kucing tua datang menghampiri. Kucing setengah hitam penuh kadas kemudian duduk dan menjilati kadas-kadas di tubuhnya. Bukankah itu menjijikkan, batinku.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku.

"Kenapa? Kau tak suka aku melakukan ini," jawab kucing dengan nada tak suka karena keasikanya terusik oleh tanyaku.

"Tidak. Aku hanya ingin tahu apa yang sedang kau lakukan," jawabku penasaran.

"Kau pun melihat kalau aku sedang menjilati korengku sendiri," ucapnya acuh.

"Iya. Aku tahu. Tapi mengapa? Apakah enak?" penasaranku smakin membuncah.

"Cih. Kalau aku punya tangan seperti kau, tentu aku akan menggaruknya. Bukan menjilatinya. Apanya yang enak, lidahku tak diberi rasa, bodoh." celotehnya bernada ketus.

Hening. Di penghujung malam, tergradasi oleh fajar, aku masih terpaku di pucuk rumah ditemani kucing kudisan yang sibuk menjilati korengnya. Pandanganku lurus jauh ke depan. Halimun batas-batas horison yang masih terlihat gelap.

"Kau sendiri sedang apa di sini? Anak gadis tak boleh naik sampai ke sini. Menanti kekasihmu?" kali ini kucing berlagak sok akrab seolah memperdulikan keberadaanku.

"Tidak. Emm, sebenarnya aku menyukainya, tapi dia bukan kekasihku," jawabku meluncur begitu saja, seakan kami sudah seperti saling mengenal.

"Siapa dia? Barangkali aku mengenalnya," kembali kucing menunjukan pedulinya.

"Iya. Setiap hari kau pasti melihatnya. Tapi mungkin kau tidak sadar," jelasku.

"Siapa?" kucing giliran didera penasaran, skorpun 1-1.

"Bukan siapa. Tapi apa."

"Apa siapa? Siapa apa?"

"Kita tunggu ia dari sini." berondongku seakan menyempurnakan rasa penasaranya.

Hening. angin Fajar hari di pucuk atap  berhembus menusuk tulang. Menggetarkan bulu-bulu romaku. Kutarik selimut merah jambu yang melekat erat mendekap tubuhku.

"Mana dia?" tanya kucing sambil ekor matanya menyapu segala sudut.

"Sebentar lagi." jawabku seakan yakin akan kemunculanya.

Di kejauhan di fajar hari, kaki langit mulai luntur. Agak cerah di ujung sana tapi gelap di sini. Jauh di ujung sana kaki langit mulai runtuh, terbelah menjadi dua warna yang menakjubkan. Jauh di ujung sana, dari deretan lanskap itu, menyembul tepian benda besar namun kecil. Manis sekali sekaligus menggetarkan kalbu.

"Itu dia!" teriaku kegirangan.

"Siapa dia? mana dia?" tanya kucing semburat kaget hingga bulu-bulunya yang jarang ikut berdiri.

"Matahari. Ia tak pernah datang terlambat, sebuah harga yang setimpal, dengan kesetiaanku yang berbalas." ucapku lirih.

Benda besar namun kecil itu, Matahari, semakin menampakkan kebesarannya. Seolah dengan membusungkan dada melesat membelah langit-langit. Menyiramkan cahaya keemasan yang terpantul pada lanskap-lanskap jauh di sana. Fajar sudah pergi. Kini kusebut ia pagi. Dan aku berjanji seperti biasanya. Tak akan turun sebelum Matahari benar-benar dekat di atas kepalaku. Karena saat melihat Matahari sedekat itu, aku merasa dekat pula kepada yang menciptakannya.

Masih kulihat kucing hitam berkadas disitu, namun sesekali beringsut menjauh, seakan tahu bukan itu jawaban yang ia mau, ekor matanya mengisaratkan ketus,dan ia pun kembali dengan cueknya menjilati kudis dan bulu-bulunya yang jarang karena rontok.


oleh, Utungun






Post a Comment

 
Top