googlesyndication.com

0 Comment
Loji Kembali Mengetuk Tanya
Bukan bayang pohon, tp derasnya gelontor limbah dari selokan Kergon
Sanca purba hijau pun kembali menarik kulum senyumnya, di kala naga kelabu tertunduk lesu mengkomersiilkan ritual “Uluk Salam” menyela gegap gempita persiapan tak berakar kuat dalam menopang harapan berhasil atau tidaknya perhelatan Komunitas Peduli Kali Loji (KPKL).


Berbagai komunitas telah menunjukkan komitmen menyingsingkan lengan, Sang Walikota telah harus rela mengorbankan agenda rutin, para stake holders Kelurahan-kelurahan di sepanjang kali dan instansi terkait telah menyiapkan armada pengangkut sampah, dan Loji pun telah mengeskpresikan keramahannya. Namun, Lapangan Jetayu dan Taman Parkir Patiunus tetap berlapang dada memaklumi bila ruang yang mereka sediakan dibiarkan terluang tanpa kerumun elemen warga masyarakat yang lain. Bantaran kali sepanjang Jl. Diponegoro yang sedianya diperkirakan akan menampung paling banyak semangat orang-orang bekerja bakti tetap menuturkan senandung sunyi. 


Deru mesin tempel perahu-perahu mengiring menggelorakan semangat peduli partisipasi minimal mereka. Kecipak serok penangkap sampah terhanyut berlomba dengan bunyi sreeet-sreeettt garu menggamit jangkauan m
eringankan beban angkat-angkutnya. Kurang lebih 3 jam pelayaran perahu tak menemukan kendala pada batas tonase muatan. Hingga tak terpikirkan berpuluh-puluh armada Viar dan 2 unit Dump Truck pengangkut sampah teronggok terkantuk-kantuk menunggu pemanfaatan fungsinya di sepanjang titik-titik pinggir sungai.



Tersisip kesibukan kecil kerja bakti 5 orang warga masyarakat RT 04 / RW 05 Kelurahan Keputran,  dipimpin Bapak RW-nya sndri, H. Rudi. Ditemani 2 kemasan plastik Pia-pia dan seceret air putih mereka berkenan berpeluh-peluh keringat mengisi 3 kontainer sampah (1 unit Viar plus 2 unit gerobak). Keciprak parang beserta bunyi sraak-sreeekk sapu lidi memecah  kelengangan titik 22 A  hingga 28 di ujung Jembatan Pasar Grogolan sana, yang sempat tak terjaga dikarenakan kekurangan personil partisipan. Beliau sempat menggambarkan semangat warganya dengan berujar bermuatan saran sugestif, “…ada baiknya kegiatan peduli kali loji ini diselenggarakan pada hari Jum’at, manakala bisa diharapkan warga masyarakat merelakan hari liburnya untuk ikut mewujudkan tanggung jawab bersama ini”


Tawaran berbaik-baik hati H. Fatchur Rachman Noor untuk memulai upaya memberi perhatian khusus pada penanganan limbah tak sempat bersambut, menjadi urutan kegiatan berikutnya yang tak terjembatani pendekatan-pendekatan memadai kepada kalangan para pengusaha. Terkesan ada peran keterburu-buruan ditujukan pada Sang Waktu, yang tak kan menemukan jawaban proporsional oleh selarik kalimat “…mumpung belum musim penghujan”


Tak tercukupinya waktu dan tenaga relawan pengerah menyambut peminjaman fasiltas 7 unit perahu tambahan, menambah deret kekurangan evaluatif dalam pengkoordianasian sebuah organisasi yang prematur. 


Akankah budaya “Malu” harus diperdebatkan? Kiranya tidak mungkin. Toh, kepedulian bukan sekadar pemenuhan kebutuhan biologis, yang serta merta bisa diharapkan ketergugahannya dalam hitungan hari pun minggu. Warga masyarakat pun tidak secara otomatis memberikan respons berarti sebelum mengamati ketulusan yang semakin memadat seiring berjalannya masa.
Waktu akan mengumpulkan tokoh-tokoh berkelas beserta partisipan yang benar-benar bisa menerjemahkan apa makna “Relawan”. Waktu yang akan memilah mana yang menganggap Peduli Kali Loji hanya laksana sekadar urunan masak-masak di kala rembulan purnama bersinar dengan cukup mengungkapkan , “…gelem ngetokke donasi asal brayan kabeh konco roto dengan nilai sama”. Mana yang bisa mengeja, bahwa Peduli Kali Loji tidak selalu berkaitan dengan nilai materi. Tenaga, waktu, keseriusan, gagasan inovatif, kemampuan lobby, dll berjajar mengantri bersama definisi tak terbatas kebutuhan mendesak penanggulangan potensi bencana. Waktu yang akan menyeleksi siapa yang memiliki motif pribadi, siapa yang melakukan aksi tanpa embel-embel pamrih. 
Kali Loji pun menggemakan pertanyaan klise di tiap tepian sungai berdinding hitam, menggaungkan di tiap riak air polutan beraroma busuk, menggetarkan lumpur legam pendangkalan, dan akhirnya terbungkam di peluk kapas kasur yang terhanyut, “…lha gene koq kiye tok, Lhurrr”. Sanca purba hijau segera menyimpan esemannya dan kembali meneruskan tertengkurap lunglai di suatu cabang pohon tak kasat mata pada tugas penjagaannya, membiarkan Naga Kelabu kembali meneruskan pertapaan perwaliannya ke lubuknya dengan sikap sarat kecewa.
~Oleh: Arry Anand~

Post a Comment

 
Top