googlesyndication.com

0 Comment
Menelisik Klaim Kota Batik
 Kota Batik

Berita mengenai pencanangan Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia oleh IWCC (International World Craft Council) yang bermarkas di Dong Yang, Propinsi Zhejiang, Tiongkok,yang baru lalu,  menjadi cukup kontroversial didengar khalayak orang Pekalongan.
Bagaimana tidak, sedang kecap pun tidak ada yang mau disebut nomor dua, apalagi penyematan gelar ini disertai embel-embel “Dunia”. Bak kebakaran jenggot masyarakat yang sudah terlanjur kebanyakan ikut andil dalam kegiatan produksi yang selama ini digalakkan sebagai satu-satunya roda perekonomian yang bisa diandalkan. Sebuah masyarakat yang sudah merelakan sistem sanitasi, dari hanya got kecil, kali Sodetan, hingga sungai-sungai besar, dibiarkan terkontaminasi racun tak berbatas yang diakibatkan dari pembuangan limbah obat batik sekenanya. Permakluman apapun tak kan mengakomodasi kota batik tandingan ketika Pekalongan telah mampu menunjukkan kapabilitas sumbangsihnya dalam merevolusi perkembangan corak berikut trend batik, yang mau tidak mau selayaknya diakui sebagai gejala fenomenal.
Meskipun Dewan Kerajinan Dunia itu memaparkan latar belakang argumentasi tentang 6 kota tandingan di Asia Pasifik dan mengikuti proses pembuatan batik tulis, tak cukup memadai diterima sebagaimana syarat syahnya suatu kriteria penilaian.

  • Kecermatan kerajinan
Suatu bentuk kerajinan bisa dipandang dari bagaimana cara mengkonsentrasikan perhatian/kepedulian penuh akan upaya kerja menciptakan sebuah karya, lamanya waktu pembuatan, dan kadar kualitas karya yang dihasilkan.
Apabila kecermatan kerajinan sebagai modal utama kriteria penilaian, warga masyarakat Pekalongan masih bisa merekomendasikan bahwa penekanan produk batik tulis sebagaimana menonjol pada produk batik Yogyakarta hanya bagian kecil dari keseluruhan ragam cipta batik Pekalongan.
  • Loyalitas terhadap motif khas
Komitmen kesetiaan memegang motif khas turun temurun untuk tetap menjadi faktor pendongkrak daya jual kompetitif. Pelestarian karya leluhur menjadi isu utama. Dari motif lokal hingga klaim motif yang dulu-dulunya asli berasal dari negeri Tiongkok.
Keteguhan pelestarian motif khas, sudah semestinya Lasem merupakan kota yang lebih berhak dan layak memperoleh gelar kota batik dunia. Mengingat para penggerak industri batik disana lebih tertarik mempertahankan daya jual corak-motif batik yang diklaimnya memiliki kadar keaslian turun temurun yang apabila dirunut motif khas itu sendiri dan kronologi sejarahnya benar-benar berasal dari negeri Tiongkok. Klaim ini diperkuat dengan pemilikan buku koleksi motif batik yang disebut-sebut menjadi kitab primbon sebagai pemandu katalog produk-produk mereka. Di samping, pencapaian nilai jual puluhan juta per lembar kainnya yang cukup membuktikan pengakuan kualitas kerajinan, yang selama ini belum ada yang mampu mengkloningnya kecuali pada tingkat kualitas lebih rendah selain batik tulis.
  • Keterlibatan masal industri
Partisipasi penuh mayoritas masyarakat suatu kota dalam menyelenggarakan industri, dari pekerja kasar, penyiapan motif, keahlian khusus, hingga pemodal dari berbagai kalangan profesi. Pekalongan merupakan daerah tingkat II yang selama ini baru saja berbangga menemukan jati dirinya. Setelah sekian lama berupaya keras merunut penopang roda perekonomiannya melalui sentra industri perikanan dan tekstil. Sebuah geliat kebangkitan yang tak semestinya disepelekan begitu saja dalam meraih prestasi bilamana penyelenggaraan industri batik sudah semenjak dulu telah ditekuninya.
Totalitas partisipasi warga masyarakat Pekalongan dengan sendirinya berbanding lurus dengan semakin beragamnya produk yang dihasilkan, mengikuti corak dengan segala tingkat kualitasnya. Ibarat kata, Pekalongan sanggup untuk melayani segala permintaan sesuai kemauan konsumen. Lantas, apakah Yogyakarta bersama IWCC-nya patut disikapi sebagai suatu statement yang merupakan update terkini dari penyematan “Kota Batik Dunia”? Apa warga masyarakat Pekalongan harus berela hati legowo membiarkan gelar kota batik-nya teronggok sebagaimana sesanti masyarakatnya belaka plus mengingatnya sebagaimana lagu lama saja? apa arti pengorbanan tampilan hitam legam Kali Loji dan sungai-sungai lainnya?
Tidakkah muncul kecurigaan bahwa fenomena Yogyakarta hanya bagian kecil dari praktek-praktek media berskala internasional? Dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas tampilan suatu kota di mata dunia, yang ditujukan untuk mendukung peningkatan perdagangan di sektor industri batik sekaligus pariwisata. Mengingat Yogyakarta memiliki pelaku-pelaku bisnis besar yang cukup kapabel untuk menyelenggarakan strategi tersebut, sebagaimana Batik Keris atau Danar Hadi.
Sebagai notabene, kiranya warga masyarakat Pekalongan, Lasem dan mungkin kota-kota lainnya bisa berpasrah diri bilamana kriteria penilaian IWCC didasarkan pada pengembangan industri batik dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Mengingat sebagai ikon kota wisata sudah sepantasnya Yogyakarta memberikan perhatian penuh pula pada tampilan sungai-sungai bersih di sekitar wilayahnya.

(By: Arry Anand)

Post a Comment

 
Top