-->

Kita Tak Butuh Pemimpin Hebat, Kita Butuh Pemimpin yang Tulus dan Sehat Akal

Pekalongan News
Thursday, October 23, 2025, October 23, 2025 WIB Last Updated 2025-10-23T13:37:52Z
Kita Tak Butuh Pemimpin Hebat, Kita Butuh Pemimpin yang Tulus dan Sehat Akal
Pekalongannews - Di tengah hiruk-pikuk politik nasional, kita sering kali disuguhi tontonan para pejabat publik yang gemar berbicara sembarangan. Tak hanya lewat mulut, kini mereka juga “berbicara” lewat jari—melalui unggahan media sosial yang memancing reaksi publik.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa banyak pemimpin kehilangan kesadaran etik sebagai figur publik yang seharusnya menjadi teladan?

Dalam konteks politik modern, ucapan pejabat publik bukan sekadar kata, melainkan instrumen kekuasaan yang membentuk persepsi dan legitimasi. Sekali ia salah ucap, yang rusak bukan hanya citra pribadi, tetapi juga kepercayaan terhadap institusi yang diwakilinya.

Ada sepuluh ciri pemimpin yang tak akan bertahan lama. Ciri-ciri ini seakan menjadi cermin bagi banyak elite politik kita yang lebih sibuk mempertontonkan ego ketimbang akal sehat.
  • Ciri pertama dan paling fatal: tak bisa menjaga mulut. 
Kita hidup di era di mana setiap kata bisa menjadi peluru. Satu pernyataan yang menyinggung publik dapat memicu gelombang kemarahan dan delegitimasi. Dalam teori komunikasi politik, kesalahan semacam ini disebut self-inflicted damage—kerusakan reputasi yang dilakukan oleh diri sendiri.
  • Ciri kedua: merasa lebih besar dari organisasi.
Pemimpin seperti ini lupa bahwa jabatan hanyalah amanah, bukan panggung keagungan pribadi. Organisasi atau lembaga negara sejatinya lebih besar daripada individunya. Saat ego mengalahkan fungsi, maka kehancuran tinggal menunggu waktu.
  • Ketiga, pemimpin yang tuli terhadap kritik. 
Banyak pejabat publik yang hanya mau mendengar laporan manis, enggan menerima masukan. Mereka hidup dalam ruang gema, hanya mendengar suara sendiri. Padahal, seperti dikatakan Stephen Covey, “Masalah terbesar dalam komunikasi adalah ketika kita mendengar bukan untuk memahami, tetapi untuk membalas.”
  • Keempat, ketulusan yang hilang. 
Banyak pemimpin menempuh kekuasaan bukan untuk melayani, tetapi untuk dilayani. Mereka lupa esensi servant leadership—bahwa pemimpin sejati adalah pelayan bagi masyarakat, bukan sebaliknya.
  • Kelima, tak membangun regenerasi. 
Kepemimpinan yang besar diukur dari kemampuannya menyiapkan pemimpin berikutnya. Tanpa regenerasi, sebuah sistem akan mati bersama figur yang menjabat.
  • Ciri keenam, arogansi dan rasa kebal kritik, membuat pemimpin terjebak dalam bias kepercayaan diri berlebih. 
Mereka menumpuk masalah tanpa menyelesaikan, hingga akhirnya utang sosial dan politik itu menagih pada waktunya.
  • Ciri ketujuh, menyedot energi orang lain, menggambarkan pemimpin yang membawa masalah, bukan solusi. 
Mereka hadir bukan memberi arah, tetapi justru menimbulkan kelelahan kolektif dalam birokrasi dan masyarakat.
  • Kedelapan, hilangnya integritas. Banyak pejabat yang berkata “bersih” namun tangan dan pikirannya korup. 
Integritas bukan soal pencitraan, melainkan konsistensi antara ucapan dan tindakan. Tanpa integritas, kekuasaan hanya menunggu waktu untuk runtuh.
  • Kesembilan, pemimpin yang palsu dan manipulatif. 
Di era kamera dan media sosial, pencitraan menjadi mata uang baru dalam politik. Banyak pejabat lebih sibuk berpose di depan kamera ketimbang bekerja nyata di lapangan. Mereka menciptakan “drama kepemimpinan” yang penuh framing, namun miskin substansi.
  • Dan terakhir, pemimpin yang eksklusif. Begitu berkuasa, mereka menutup diri dari publik, hanya melayani lingkaran kecil pendukungnya. 
Demokrasi yang semestinya inklusif berubah menjadi oligarki kecil yang memperdagangkan akses dan kekuasaan.

Dalam sistem demokrasi, kejatuhan seorang pemimpin bukan semata akibat lawan politik, melainkan hasil dari perilaku mereka sendiri. Demokrasi memiliki mekanisme korektif yang halus tapi pasti: ketika publik kehilangan kepercayaan, kekuasaan akan tergerus secara alami.

Karena itu, bangsa ini tidak butuh pemimpin yang gagah, yang sibuk membangun pencitraan atau mengulang jargon kosong. Kita membutuhkan pemimpin yang waras—yang berpikir sebelum berbicara, mendengar sebelum menilai, dan melayani sebelum meminta dilayani.

Kewarasan politik bukan sekadar soal kecerdasan intelektual, tapi kemampuan menahan diri, menjaga integritas, dan berpihak pada nalar publik. Di tengah derasnya arus populisme dan politik pencitraan, hanya pemimpin yang waras yang mampu menjaga demokrasi tetap sehat.
Komentar

Tampilkan

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *

TERKINI