-->

Harga Rumah Anjlok, Tapi Tetap Tak Terjangkau: Ada Apa dengan Properti Kita?

Pekalongan News
Thursday, July 10, 2025, July 10, 2025 WIB Last Updated 2025-07-09T21:48:21Z
Harga Rumah Anjlok, Tapi Tetap Tak Terjangkau: Ada Apa dengan Properti Kita?
Pekalongannews - Pasar properti Indonesia tengah mengalami guncangan hebat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sektor yang dulunya dianggap kebal krisis dan selalu untung, kini justru menjadi sumber kecemasan baru, terutama bagi kalangan kelas menengah dan pelaku usaha kecil. Apa penyebabnya dan ke mana arah industri ini?

Di masa lalu, properti dianggap investasi "aman dan pasti naik". Namun sejak 2023 hingga pertengahan 2025, data Bank Indonesia menunjukkan penurunan signifikan dalam harga properti. Di Jakarta Utara dan Cengkareng, harga rumah terkoreksi hingga 30%. Generasi muda kini bahkan tak lagi melihat rumah sebagai prioritas utama.

Kelas menengah kini menahan diri untuk membeli rumah. Daya beli melemah, pendapatan stagnan, sementara biaya pembangunan naik drastis. Masyarakat mulai meninggalkan kota besar seperti Jakarta dan berpindah ke pinggiran seperti Bekasi, Depok, dan Tangerang karena biaya hidup yang lebih terjangkau.

Banyak calon pembeli memilih menunda, sedangkan pemilik properti juga enggan menjual di harga rendah. Akibatnya, pasar membeku. Volume transaksi anjlok dan suplai menumpuk. Koreksi harga terjadi masif — bahkan dengan diskon hingga 30% demi likuiditas cepat.

Menurut data Trading Economics, dari 18 kota besar yang disurvei, 12 kota mengalami penurunan indeks harga rumah (IHPR). Denpasar, Padang, Samarinda, Batam, bahkan Surabaya ikut terdampak. Proyek baru sulit diserap pasar, sementara biaya konstruksi terus naik.

Industri properti selama ini menyerap jutaan tenaga kerja. Kini, PHK meluas, proyek ditunda, dan pengadaan bahan dibatasi. Kredit macet meningkat, dan perbankan mulai membatasi pembiayaan ke sektor ini. Ini situasi serius yang perlu intervensi fiskal & moneter segera dari pemerintah.

Properti baru (primer) masih gencar ditawarkan, tapi peminat rendah karena harga tinggi dan proses kredit ketat. Sebaliknya, properti sekunder justru ramai dijual dengan harga miring karena kebutuhan dana cepat, sehingga mendistorsi harga pasar properti baru.

Tren Work from Home (WFH) pasca pandemi membuat banyak gedung kantor dan apartemen menganggur. Tingkat hunian turun drastis hingga 60–65%. Ruko dan ruang usaha pun stagnan karena banyak usaha tutup atau beralih ke model digital. Properti kini dibiarkan kosong, tapi tetap menanggung beban pajak dan operasional.

Pemerintah mencatat backlog (kekurangan hunian) hingga 15 juta unit, dan 26 juta rumah yang tak layak huni. Namun kenyataannya, rumah ada, tapi tak terjangkau. 

Banyak rumah subsidi dibangun jauh dari pusat kota, tanpa transportasi massal, membuatnya tak diminati meski murah.

Untuk menyelamatkan sektor ini, pemerintah perlu:

  • Subsidi bunga KPR & relaksasi Loan to Value (LTV)
  • Keringanan pajak properti, khususnya untuk rumah pertama dan pengembang skala kecil-menengah
  • Pengembangan hunian berbasis komunitas urban yang terintegrasi dengan transportasi & pusat aktivitas
  • Skema alternatif seperti sewa beli atau rumah multifungsi bagi kelas menengah ke bawah

Krisis properti saat ini bukan sekadar perlambatan siklus, tapi koreksi struktural. Jika tidak ditangani serius, bisa menyeret sektor lain ke jurang resesi. Pemerintah, swasta, dan masyarakat perlu merumuskan ulang cara pandang terhadap properti: dari sekadar aset investasi menjadi kebutuhan nyata yang terjangkau dan berkelanjutan.


 

Komentar

Tampilkan

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *

TERKINI