![]() |
Gambar Dihasilkan Dengan AI |
Tokoh-tokoh publik, seperti artis, politikus, hingga influencer, kerap kali dianggap memiliki dua wajah: satu yang tampil di depan kamera dan satu lagi yang hanya dikenali oleh orang-orang terdekat. Ini bukan semata soal kepalsuan, namun lebih kepada kebutuhan untuk membangun narasi yang “menjual.”
Anak muda pun tak luput dari tren ini. Dengan media sosial sebagai panggung utama, mereka secara sadar atau tidak mulai membentuk versi diri mereka yang dikurasi. Feed Instagram, cuitan di X, hingga video pendek di TikTok menjadi sarana membangun identitas digital.
Meski personal branding sering diasosiasikan dengan keunggulan dan keunikan, tekanan untuk selalu tampil ‘baik’ bisa memicu kecemasan sosial. Beberapa individu bahkan terjebak dalam persona yang mereka ciptakan sendiri.
Fenomena ini menunjukkan bahwa personal branding tidak hanya berdampak pada bagaimana orang lain memandang kita, tetapi juga bagaimana kita memandang diri sendiri.
Membangun personal branding bukan berarti harus memalsukan diri, tetapi menyusun bagian-bagian dari diri secara sadar dan strategis.
Autentisitas tetap menjadi nilai penting. Narasi yang kuat sekalipun akan kehilangan daya jika tidak selaras dengan perilaku dan nilai-nilai individu yang bersangkutan.
Di tengah arus deras digitalisasi dan kebutuhan akan pengakuan sosial, membangun personal branding adalah keniscayaan.
Namun, publik termasuk anak muda perlu memahami bahwa narasi bukanlah segalanya. Jujur terhadap diri sendiri dan membangun citra secara bertanggung jawab adalah kunci agar personal branding tidak berubah menjadi beban identitas.
No comments:
Post a Comment