Sri Rejeki bersama Ibunya |
Kota Pekalongan
Miskin dan serba kekurangan bukan menjadi halangan untuk mengejar cita-cita. Tidak bisa hidup seperti laiknya orang kebanyakan malah memacu semangat Sri Rejeki (15 th) putri dari pasangan Mujiono-Priyati untuk terus semangat menamatkan pendidikan setinggi mungkin. Sri, begitu panggilan akrabnya tinggal bersama kedua orang tua dan adik lelakinya di sebuah bedeng yang tak layak disebut tempat tinggal. Berada di kawasan lahan kosong dekat lokasi wisata Pasir Kencana, Kelurahan Pantaisari, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan. Sri menghabiskan waktu diluar sekolah untuk mencari tambahan penghasilan dengan memulung di lokasi wisata, tumpukan sampah dan tempat-tempat di mana banyak terdapat botol plastik bekas, kardus, gelas plastik bekas minuman ringan dan lainya. Hasilnya selain untuk membantu ekonomi keluarga juga ditabung untuk membiayai sekolahnya.
"Alhamdulillah, lumayan mas hasilnya. setiap bulan saya bisa menyisihkan uang Rp 300 ribu. Semua uangnya untuk membantu Ibu dan ditabung," ucapnya saat media ini datang berkunjung.
Kendati waktunya tersita untuk memunguti benda-benda yang bisa menghasilkan rupiah bagi keluarganya, Sri masih menyempatkan diri untuk belajar, mengulang pelajaran yang diajarkan di sekolah. Bahkan Sri masih mampu membagi waktu untuk mengurus rumah dengan mencuci, memasak, mengambil air dan mengisikanya di bak penampungan belakang gubuk reot tempatnya berlindung dari hujan dan panas.
Sri, kini duduk dibangku sekolah kelas 1, SMA Gatra Praja, Kota Pekalongan. Dia bercita-cita ingin menjadi akuntan pajak. Sri menilai, dengan bekerja di kantor pajak selain nanti bisa merubah hidup keluarganya juga bisa sesuai dengan angan-angannya. Karena menurutnya, Kantor Pajak itu penuh dengan keberaturan. Orang-orangnya, pekerjaanya dan peraturan yang di terapkan.
"Saya menyukai yang serba teratur, tertib dan penuh kedisplinan. Saya melihat Kantor Pajak seperti itu," Kata Sri polos.
Kondisi bedeng ukuran 4x4 meter yang ditinggali Sri dan keluarganya
Untuk menggapai semua itu tidaklah mudah. Sri dalam keseharianya harus bergelut dengan alam. Tempat tinggalnya tidak ramah untuk merancang masa depan. Disana-sini atap rumahnya berlobang dan tidak semua bagian dari dinding rumahnya yang terbuat tempelan papan lapuk serta sepanduk bekas tertutup sempurna. Banyak yang masih belum tertutup rapat. Kalau panas, sinar matahari menerobos dari lubang atap yang ada. Kalau hujan apalagi, air masuk dari segala sisi. Dari atas, air leluasa mengguyur masuk, hempasan air dari dinding yang tidak tertutup menambah parah keadaan. Belum lagi terpaan angin yang dingin menyulitkan Sri untuk bisa memejamkan mata."Saya sering sedih, buku-buku saya kerap basah. Ditaruh di almari tetap saja basah karena air juga mengguyur semuanya," ungkapnya memelas.
Bolam 15 watt satu-satunya penerang dibedeng yang ia tingali hanya jadi penyelamat saat malam tiba. Sri belajar dibawah temaramnya lampu pijar, dia harus rela berbagi terang dengan keluarga yang lain.
Menurut Priyati, ibu Sri Rejeki, kepada media ini menyampaikan Sri itu anaknya Mandiri, tidak merepotkan dan bahkan malah mampu membantu saya jadi pemulung untuk mengumpulkan rupiah demi kelangsungan hidup kami.
"Awalnya saya sempat bingung, ketika Sri mengutarakan keinginannya untuk terus melanjutkan sekolah yang katanya untuk mengejar cita-cita jadi akuntan pajak. Saya ini bodoh, miskin dan tidak punya apa-apa. Saya jadi pemulung untuk membantu bapaknya Sri. Karena penghasilan suami saya tidak bisa diandalkan sebagai tukang becak," tuturnya.
Kata Priyati, anaknya sangat bersikeras untuk terus maju. Untuk membiayai sekolahnya Sri tidak minta apa-apa dari saya. Sri hanya minta di doakan saja.
"Kata Sri, dia akan bekerja membantu saya dan uang yang didapat akan ditabung untuk keperluan sekolah. Tapi ya memang begitu, semangat belajarnya tinggi, kemauanya keras. saya sampai kasihan. Buku-bukunya sering basah, saya sendiri tidak bisa membantu banyak. Tapi saya mendukung Sri, biar tercapai cita-citanya jadi akuntan Pajak yang sukses," papar Priyati.
Kini Priyati bersama Mujiono hanya bisa memberi doa. Keduanya sangat berharap Sri mampu melewati kesulitan hidup dengan tabah dan tidak putus asa. Hanya Sri yang menjadi tumpuanya untuk mengangkat derajat dari kubangan kemiskinan akut seperti orang tuanya.
Post a Comment