Ilustrasi |
Keterpurukan Kali Loji (Red: Kali Kupang) dan kali-kali lainnya di Pekalongan dalam kubangan polusi limbah dan sampah sangat mudah sekali mendatangkan simpati. Penggalangan perhatian, sekaligus penyelenggaraan upaya memberikan sentuhan solusi terhadap isu-isu tersebut serta merta bisa terakselerasi dengan pesat.
Pada beberapa bulan terakhir ini KPKL (Komunitas Peduli Kali Loji) menjadi pelopor terdepan yang tampak berani menganggap serius terciptanya perlawanan masyarakat Pekalongan terhadap potensi bencana lingkungan tersebut. Berbagai aksi gotong royong pun terselenggara secara rutin, baik di Kali Loji, Kali Bremi, ataupun Kali Setu selama ini. Bersama aparat pemerintah setempat dan berbagai elemen masyarakat terjalin kerjasama yang baik dalam berbagai aksi kegiatan.
Dalam suatu tinjauan evaluasi sehubungan dengan mengorbitnya kiprah KPKL, Andi, seorang pemerhati dan pelestari lingkungan yang aktif di komunitas FKH dan Kombi memberikan ulasannya.
“Penanganan lingkungan membutuhkan kecermatan tinggi dalam menumbuh-kembangkan ide-ide orisinil. Di samping itu, kesempurnaan pemahaman akan identifikasi penyelenggaraan aksi kegiatian solutif sangat berperan untuk menentukan suatu aksi kegiatan hanya melulu “show of force” belaka atau bukan, suatu aksi kegiatan tepat sasaran dan menyentuh akar masalah atau tidak.”
Lebih lanjut Andi memaparkan detail masukannya, “Dalam memberikan sentuhan solusi terhadap lingkungan perlu ketelitian seksama untuk memprioritaskan penyelenggaraan konservasi sumber daya manusianya terlebih dahulu, yaitu orang-orang yang tinggal di pinggiran kali.
Penyelenggaraan edukasi dan advokasi (pendampingan) anggota masyarakat yang berwawasan kearifan lokal sangatlah penting untuk didahulukan, sebelum menekuni solusi terhadap sumber daya alamnya, yaitu sampah dan limbah. Sebagai analogi mudah, perlunya didorong gagasan-gagasan baru sebagaimana perpindahan budaya masyarakat saat buang air dari kebiasaan di bilik-bilik di atas kali (Jumbleng) menuju MCK Umum, hingga pemilikan toilet pribadi di rumah-rumah sendiri.
” Sementara khususnya pada penanggulangan pertumbuhan liar enceng gondok, bisa diciptakan alat-alat sederhana semacam “katrol pengungkit terbuat dari bambu” dalam jumlah banyak, yang memungkinkan tiap anggota masyarakat melakukan rutinitas pengangkatan enceng gondok tiap harinya.”Berkaitan dengan peran penganggaran dana, dengan cukup kontroversial beliau memberikan sebuah statement,
“Ketika telah tumbuh subur keleluasaan gagasan orisinil dan didukung semangat yang berfondasikan niat luhur dari para relawan anggaran senilai satu juta rupiah pun sudah terlalu tinggi untuk mengadakan suatu aksi kegiatan. Sebagai contoh, Komunitas Biji (Kombi) pernah menyelenggarakan suatu aksi penanaman biji pohon Duwet di kawasan Lebak Barang dengan hanya anggaran dana Rp. 300.000,-, dan masih bersisa lagi."Secara terpisah Bambang Irianto, seorang pemerhati lingkungan, mencoba memberikan suatu wacana penganggaran dana untuk mendukung keberadaan suatu komunitas,
“CSR (Corporate Social Responsibility) bisa dijadikan harapan dukungan dana bagi suatu komunitas di masa depan. CSR tidak selalu harus diartikan desakan bagi para penggiat komunitas untuk melakukan kegiatan minta-minta kepada perusahaan-perusahaan yang ada di sekitarnya. Sepanjang suatu komunitas peduli lingkungan sudah mampu membuktikan dirinya benar-benar “eksis”. Dalam artian bisa menjalankan mekanisme kerja struktur organisasinya secara benar, penanganan aksi kegiatan tepat sasaran, dan berhasil guna yang nyata-nyata bisa dipetik oleh anggota masyarakat. Perusahaan-perusahaan besar akan memilihnya sebagai target pemanfaatan CSR yang dihasilkannya.”
Kiranya tidak cukup sulit untuk mengenali suatu komunitas kepedulian lingkungan bisa diterima secara umum oleh masyarakat atau tidak. Detail-detail pengenalan berasal dari hanya ide orisinil yang berkembang, profesionalisme para penyelenggara, ketepatan sasaran aksi, kemurnian semangat sukarela, dan kemandirian penganggaran dana.
Post a Comment