-->

RAM Jadi Barang Langka, Spesifikasi Gadget Turun di Tengah Ledakan AI

Pekalongan News
Saturday, December 27, 2025, December 27, 2025 WIB Last Updated 2025-12-27T04:27:31Z
RAM Jadi Barang Langka, Spesifikasi Gadget Turun di Tengah Ledakan AI

Pekalongannews - Industri teknologi global tengah menghadapi persoalan serius yang selama ini luput dari perhatian konsumen: krisis RAM. Komponen kecil yang menjadi “otak sementara” perangkat digital ini kini berubah menjadi barang rebutan. Dampaknya tidak main-main, mulai dari kenaikan harga ponsel dan laptop hingga penurunan spesifikasi yang membuat konsumen harus menelan kekecewaan.

Krisis RAM bermula dari lonjakan permintaan luar biasa terhadap teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Pusat data, komputasi awan, dan pengembangan AI generatif menyerap RAM dalam jumlah masif.

Dalam hitungan bulan, kebutuhan memori melonjak drastis. Sayangnya, kapasitas produksi chip memori tidak bisa mengikuti kecepatan tersebut. Membangun pabrik semikonduktor membutuhkan waktu bertahun-tahun dan investasi raksasa.

Ketimpangan antara permintaan dan pasokan ini memaksa produsen chip membuat prioritas. Server AI dan data center menjadi pelanggan utama karena menawarkan margin keuntungan jauh lebih tinggi. Akibatnya, pasar konsumen seperti smartphone dan laptop berada di urutan belakang. Konsumen pun menjadi pihak yang paling terdampak dalam rantai pasok global.

Analis menyebut kondisi ini sebagai awal dari “RAMageddon”, istilah yang menggambarkan betapa krisis RAM dapat menghantam industri teknologi secara perlahan namun dahsyat. Harga RAM terus merangkak naik dan diperkirakan bisa melonjak signifikan pada paruh kedua 2026. Bagi produsen perangkat, tekanan ini memunculkan dilema: menaikkan harga jual atau menurunkan spesifikasi.

Dampaknya mulai terlihat jelas. Di segmen ponsel kelas menengah, RAM 12 GB yang sempat menjadi standar perlahan menghilang, digantikan kapasitas 6 hingga 8 GB. Bahkan di kelas entry level, RAM 4 GB yang sebelumnya dianggap usang berpotensi kembali menjadi pilihan utama. Di sisi lain, transisi menuju RAM 16 GB pada ponsel flagship berjalan lebih lambat dari perkiraan. Laptop pun tak luput, dengan konfigurasi memori minimum semakin sering ditawarkan demi menekan biaya produksi.

Krisis RAM juga memengaruhi dinamika pasar global. Apple dan Samsung dinilai lebih tahan menghadapi tekanan berkat skala produksi besar dan kendali rantai pasok yang kuat. Sebaliknya, produsen dengan margin tipis seperti Xiaomi, Oppo, dan Honor berada dalam posisi rentan. Kenaikan biaya produksi yang tidak diimbangi daya beli konsumen berpotensi menekan volume pengiriman dan pertumbuhan bisnis mereka.

Bagi konsumen, konsekuensinya terasa langsung. Harga smartphone dan laptop diperkirakan bisa naik hingga 20–30 persen dalam beberapa tahun ke depan. Siklus ganti perangkat pun menjadi lebih panjang karena peningkatan spesifikasi tidak lagi terasa signifikan dibandingkan harga yang harus dibayar.

Lebih jauh, krisis RAM menyingkap persoalan fundamental: rapuhnya rantai pasok semikonduktor global di tengah ledakan kebutuhan teknologi. Negara-negara produsen chip mulai bergerak memperkuat kapasitas dalam negeri. Korea Selatan, misalnya, mempertimbangkan pembangunan fasilitas foundry bernilai miliaran dolar untuk mengurangi ketergantungan pada pasokan global. Amerika Serikat pun menempatkan AI sebagai aset strategis nasional dalam persaingan teknologi dengan China.

Di balik tekanan tersebut, krisis RAM juga melahirkan pemenang baru. Perusahaan yang berada di jantung ekosistem AI, seperti Nvidia, justru menikmati lonjakan permintaan dan pendapatan. Fenomena ini menegaskan satu hal: AI bukan sekadar tren sesaat, melainkan kekuatan besar yang tengah membentuk ulang masa depan industri teknologi dunia—dengan konsekuensi nyata bagi konsumen di seluruh penjuru global.
Komentar

Tampilkan

No comments:

TERKINI