googlesyndication.com

0 Comment
HM. Machrus Abdullah, Dosen Unikal, Santripreneur 
Di dalam konteks kebangsaan dan nasionalisme, santri kerap membenturkan jasa-jasanya di masa lalu, sehingga merasa berhak menjadi pewaris yang sah atas bangsa ini. Bahwa santrilah yang dulu ikut berjuang melawan penjajah, turut dalam pembentukan negara ini, sehingga merasa paling nasionalis. Hal ini justru menjadi otokritik bagi santri sendiri. Apakah santri akan terus membanggakan jasa pendahulunya seperti anak yang mengunggulkan jasa orang tuanya tanpa mampu berbuat banyak untuk negerinya? 

Menjelang 100 tahun Nahdlatul Ulama (NU), Hari Santri pada Oktober tahun ini patut menjadi permenungan bersama. Apa yang bisa perbuat untuk hari ini? Perjuangan santri di masa lalu adalah sejarah bagi santri saat ini, dan sejarah seperti apa yang akan kita ciptakan untuk santri berikutnya? Atau apakah kita cukup bangga dengan mewariskan cerita sejarah masa lalu, terus-menerus direpetisi? 

Perjuangan santri di medan perang memang tak ada cacat sejarah. Pun demikian dengan medan dakwah, santri pernah menjadi penguasa di medan ini di berbagai wilayah di Indonesia. Dalam berbagai majelis, ritual keagamaan maupun upacara daur hidup, santri menjadi tokoh utama yang dijadikan rujukan. Namun kondisi ini berubah ketika medan dakwah tak lagi tunggal di atas panggung, melainkan bergerak masuk ke ruang-ruang privat melalui layar gawai. Medan dakwah yang mengecil tetapi menembus batas teritori ini menjadi ruang medan perebutan yang sengit. 

Di masa pandemi ini, peran internet semakin kuat dan meluas sehingga terjadi migrasi besar-besaran penduduk dunia. Bukan secara fisik dari satu tempat ke tempat yang lain, melainkan dari dunia nyata ke maya, dari luring ke daring, dari manual ke digital, ke virtual. Inilah pergeseran global yang akan membuka banyak peluang pasar dunia, termasuk dakwah di dalamnya. Untuk itu, santri perlu membekali diri sebelum melakukan perjalanan panjang yang tak melelahkan. 

Menghadapi medan kiwari, santri membutuhkan tiga kunci untuk kembali merebut medan yang pernah dikuasainya. Pertama, aktualisasi. Setiap orang membutuhkan aktualisasi diri dengan cara menampilkan kemampuannya. Untuk inilah santri ditempa bertahun-tahun di pesantren. Dibanding lulusan umum, santri memiliki keunggulan dalam pengetahuan dan kecerdasan karena disokong piramida keilmuan yang kuat. Kelemahannya adalah lambat, tidak yakin atau bahkan tidak berani ambil bagian di tengah masyarakat. Keunggulan dan kelemahan ini harus disadari oleh santri sehingga dapat bersiasat untuk mengaktualisasikan diri. 

Kedua, kontekstualisasi. Tak dapat dipungkiri bahwa santri memiliki sejarahnya yang panjang di negeri ini. Pun demikian dengan keilmuannya. Namun tak kontekstulisasi kesantrian dan kelimuannya, santri hanyalah katak dalam tempurung. Inilah yang dilakukan oleh Gus Dur pada 1980-an dengan Pribumisasi Islam. Gagasan Gus Dur ini kemudian menjadi perdebatan bagi banyak kalangan.

Konsep ini menggambarkan bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang bersumber dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya. Peran santri kemudian adalah menjadi aktor di antara ajaran normatif dan kebudayaan itu. Meminjam istilah Dr. KH. Hilmy Muhammad, M.A., kiai (atau santri) menjadi penyambung lidah bahasa langit menjadi bahasa manusia. Jika bertemu orang awam, santri mampu membahasakan ajaran agama denga mudah, bertemu akademisi, santri mampu berbahasa agama yang ilmiah, dan lain sebagainya. Pada generasi selanjutnya, kita dapat melihat bahwa intelektual muslim dari kalangan santri adalah mereka yang berhasil melakukan kontekstualisasi ajaran agama. Dengan cara ini,santri akan berpikiran terbuka dan menerima setiap perubahan zaman. 

Ketiga, agensi (keterwakilan). Sebagaimana dalam catur, setiap bidaknya memiliki peran masing-masing. Bahkan yang perannya paling kecil sekalipun akan dapat menjelma bidak dengan posisi strategis sejauh ia punya hasrat untuk terus maju melintasi garis lawan yang penuh risiko. Artinya, santri mesti paham peluang dan tidak alergi dengan “konfrontasi” dengan berbagai pihak. Tak dipungkiri bahwa sebagai manusia, santri memang memiliki keterbatasan. Namun dengan jumlahnya yang sangat besar dan mayoritas, mestinya peran itu dapat dibagi. Ada yang berperan sebagai pendidik atau dosen, santripreneur, ahli IT dan profesi lainnya. Demikian juga santri berpirah langsung kepada masyarakat baik di tingkat RT, di tingkat RW, di kantor desa, di kantor kecamatan, di kantor-kantor dinas, di Gedung DPR dan pula di kantor walikota. Dengan berbagi peran seperti ini, santri akan dapat menyongsong kebangkitannya yang kedua. 

Tiga kunci di atas seperti tangga piramida yang musti dilewati dari bawah. Jika pada tahap pertama (aktualisasi) sudah gagal, santri tak ubahnya bukan santri atau tetap santri yang menguburkan kesantriannya dengan penuh protokol kesantrian yang kerap merasa “takut salah”, “masih ada yang lebih tua” dan lain sebagainya. Karakter santri yang demikian akan mudah terkena “tikung” pihak lain. 

Berpuluh tahun santri telah ditikung dan dikikis perannya, tapi ia tetap tampil aktual dan kontekstual meski terus dihantam. Hantaman itu dirasakan semakin kuat. Namun tak goyah dan justru berbalik menguatkan kesantriannya. Saatnya bergandeng tangan dan “Mari, Bung, rebut kembali!” 

HM. Machrus Abdullah, Dosen Unikal, Santripreneur 


Post a Comment

 
Top