googlesyndication.com

0 Comment
KALI LOJI MERANA: Siapakah Yang Harus Bertanggung Jawab?
KALI LOJI

Pekalongan -
Terlalu miris bila terdengar orang bilang “tindakan mengutamakan Ekonomi berarti membiarkan Ekologi tersungkur dalam keterpurukan, demikian pula sebaliknya”. Inikah yang sedang dialami masyarakat Kota Pekalongan?.
Tergores kenangan kebanggaan masyarakat Pekalongan. Pada sekitar awal 1990-an hingga pertengahan tahun 2000-an pernah terkenal sebagai kota kedua setelah Bagan Siapi Api Propinsi Kepulauan Riau dalam ikut menyumbang produksi perikanan nasional. Di rentang waktu yang sama, tumbuh dan menjamur industri tekstil. Suatu perjuangan pencarian jati diri roda perekonomian, yang pada akhirnya harus rela melepas ketahanannya menopang hajat hidup orang banyak .
KALI LOJI MERANA: Siapakah Yang Harus Bertanggung Jawab?
Kali Loli Pekalongan
KALI LOJI MERANA: Siapakah Yang Harus Bertanggung Jawab?
Sampah yang ada di Kali Loji
Seiring dengan penggalakan batik sebagai ciri khas seni kerajinan Indonesia, banyaknya permintaan pasar memicu ledakan produksi. Laksana membangkitkan raksasa tidur. Kejayaan lama yang lazim kondang sebagai kota batik sebelum tahun 1980-an mengemuka kembali. 

Seluruh penjuru pelosok kota maupun desa berlomba-lomba menyajikan kreasinya. Wirausahawan-wirausahawan baru pun bermunculan. Semarak produksi ini tentunya memiliki skala, yang berjajar dari industri rumahan hingga besar-besaran semacam perusahaan. Industri kecil rumahan mewakili para pengrajin, yang di lapangan kebanyakan mengerjakan batik tulis dan cap. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan besar memproduksi batik secara massal lazim mengerjakan batik printing.
KALI LOJI MERANA: Siapakah Yang Harus Bertanggung Jawab?
kali Loji Tercemar limbah
Manakala air Kali Loji yang mengusik tiap pandangan orang lewat karena tampilan hitamnya, terlintas siapa-siapa pihak yang “bikin gara-gara”. Pemerintah dan pengusaha menjadi sasaran empuk tudingan kesalahan. Dasar alasan menyebar di 2 versi, ketidakseriusan pengusaha mengenali tanggung jawab dalam penanganan limbah batik dan kelangkaan pengawasan pemerintah.
Di level pengusaha sendiri terpisah antara 2 kubu yang menjadi target pelemparan tanggung jawab. Industri kecil rumahan mengklaim volume gelontoran pembuangan limbahnya lebih sedikit dibanding perusahaan besar yang memproduksi printing (plus perusahaan jeans). Sementara, perusahaan besar masih bisa berkompromi dengan kesempatan penanganan limbah printing lebih mudah dapat diuraikan melalui tehnik pengolahan limbah ketimbang limbah dari batik cap/tulis.
Pemerintah pun disini berpotensi menjadi sasaran selanjutnya ketika tudingan ke arah pengusaha kehabisan penalaran logika. Kelangkaan keseriusan dalam menjalankan fungsi pengawasan menjadi momok ketidakperdulian. Pemerintah masih bisa berdalih bahwa mereka telah menjembatani titik ekstrim efek negatif ledakan produksi batik dengan beberapa perundangan yang mengatur perijinan pendirian suatu perusahaan, sebagai suatu upaya preventif pencegahan.
Dari praduga percaturan siapa yang harus bertanggung jawab nampak bahwa, masing-masing pihak saling memiliki kelemahan. Pengusaha kecil berurusan dengan belum ditemukan cara mudah menyiasati limbah yang ditimbulkan oleh tehnik pengolahan batik cap dan tulis, agar tidak sulit terurai menjadi cairan yang bisa dimaklumi dibuang ke sungai. Perusahaan besar berkutat pada keseriusan menyediakan sekaligus mengoperasikan unit pengolah limbah secara mandiri. Sedangkan, pemerintah tersudut pada kebimbangan melaksanakan law enforcement. Sehubungan pemberlakuan ketegasan hukum yang sebenar-benarnya hukum akan memiliki konsekuensi logis mengorbankan roda perekonomian berada pada ambang kritis. Toh, perusahaan besar atau kecil di bawah naungannya telah menjadi hajat hidup orang banyak. Tidak cukup bijaksana bila eksekusi hukum mereka mengharuskan sekian banyak orang ikut menanggung akibatnya.
Terlepas dari keriuhan pengusaha-pemerintah, Kali Loji pun tidak cuma tampilan airnya yang hitam legam. Volume sampah yang terhanyut dan sebagian besar telah mengendap di dasar sungai sudah tidak bisa ditolerir lagi. Mereka teronggok di pojok-pojok dimana air sudah tidak bisa diharapkan mengalir lagi. Mereka terurai atau tidak terurai bersama-sama lumpur yang terhanyut mengendap di dasar sungai membentuk sedimentasi yang tak kasat mata dan menjadikan pendangkalan sungai. Mereka pun terapung menyemarakkan ketidaknyamanan pandang. Lalu, siapa lagi yang perlu dipersalahkan, ketika sampah rumah tangga, oli, limbah tahu/tempe, limbah kayu, pohon tumbang, limbah industri perikanan, dll?
Semoga segera sama-sama dipahami bahwa, tindakan saling tuding tidak akan pernah berujung. Dari si A ke si B, si B ke C. Kalaupun pihak pesertanya sampai Z, siklus tudingan berantai ini bisa jadi sampai Z pula, dan akan kembali ke A lagi. Semoga segera sama-sama disadari bahwa, sekecil apapun kelalaian dan sebesar apapun kesalahan merupakan tanggung jawab bersama. Toh, Kali Loji tidak membutuhkan siapa yang alpa yang akan ditenggelamkannya, siapa yang salah akan dihanyutkannya. Kali Loji sedang menunjukkan aba-aba siaga satu untuk berpotensi menjadi bencana lingkungan. Bagaimana tidak?. Masih terlihatkah kecipak  ikan-ikan yang tergolong sering teruji ketahanannya hidup di habitat tercemar polusi, seperti: Sapu-Sapu, Betok, dan Sepat?Masihkah kita harus menunggu pohon sejenis Palem-paleman Enau (Jawa lokal menyebutnya Daon) ikut meranggas daunnya sebagaimana yang terlebih dahulu dialami pohon-pohon lainnya yang hidup di pinggiran sungai?
Ketergugahan partisipasi melibatkan seluruh elemen masyarakat Kota Pekalongan dalam suatu gerakan moral menaruh kepeduliannya untuk bersegera mengelola Kali Loji yang lebih baik merupakan suatu apresiasi tinggi atas tanggung jawab kita semua terhadap habitat lingkungan dimana kita tinggal.

By: Arry Anand

Post a Comment

 
Top