-->

Dampak Tersembunyi Media Sosial: Mengapa Remaja Perempuan Paling Rentan?

Pekalongan News
Tuesday, November 04, 2025, November 04, 2025 WIB Last Updated 2025-11-04T01:13:02Z

Dampak Tersembunyi Media Sosial: Mengapa Remaja Perempuan Paling Rentan?

Pekalongannews - Di era digital, media sosial seperti Instagram telah menjadi bagian utama kehidupan remaja. Namun, di balik tampilan bahagia di layar, tersembunyi krisis kesehatan mental yang mengkhawatirkan. 


bagaimana media sosial dan teknologi mengubah cara hidup serta kondisi psikologis generasi muda, terutama perempuan.

Data Kementerian Kesehatan Indonesia mencatat, 1 dari 3 remaja mengalami gangguan kesehatan mental, dengan sekitar 15 juta jiwa terdampak. Remaja perempuan menjadi kelompok paling rentan, di mana 28% mengalami kecemasan berlebih, lebih tinggi dibanding laki-laki (25%). 

Tren serupa terlihat di dunia, dengan peningkatan kasus self-harm dan percobaan bunuh diri pada remaja perempuan hingga 188% dalam satu dekade terakhir.

Sejak 2010, saat penggunaan smartphone melonjak, pola interaksi anak-anak berubah drastis. Aktivitas fisik dan tatap muka tergantikan oleh layar. Jonathan Haidt, psikolog sosial, menyebut fenomena ini sebagai “The Great Rewiring of Childhood” — perubahan besar pada otak anak akibat paparan digital. Anak-anak kini lebih sering berinteraksi dengan algoritma dibanding dengan manusia atau alam sekitar.

Menurut Haidt, krisis mental remaja disebabkan oleh empat efek besar dari penggunaan teknologi:
  • Social Deprivation – kurangnya interaksi nyata membuat anak kehilangan empati dan kemampuan sosial.
  • Sleep Deprivation – paparan layar hingga malam mengganggu tidur dan meningkatkan risiko depresi.
  • Attention Fragmentation – fokus anak menurun karena terbiasa dengan notifikasi dan konten singkat.
  • Addiction – media sosial menciptakan ketergantungan lewat pelepasan dopamin, membuat pengguna terus mencari validasi dari like dan komentar.
Instagram menjadi ruang pencarian identitas diri bagi remaja perempuan. Namun, tekanan untuk tampil “sempurna” justru membuat mereka terjebak dalam perbandingan sosial yang merusak kepercayaan diri. 

Banyak mengalami body image anxiety, kesepian, dan perfeksionisme ekstrem yang berujung pada depresi dan self-harm.

Sementara itu, laki-laki lebih banyak menggunakan media sosial untuk aktivitas berbasis tantangan, seperti permainan atau investasi, yang efek emosionalnya lebih ringan.

Para ahli seperti Dr. Lisa Damour, Dr. Gabor Maté, dan Dr. Vivek Murthy menekankan pentingnya mengembalikan keseimbangan hidup digital. Beberapa langkah yang disarankan:
  • Dorong anak bermain bebas di luar rumah untuk melatih interaksi sosial alami.
  • Tunda pemberian smartphone hingga usia 14 tahun dan media sosial hingga setelah SMA.
  • Terapkan aturan tanpa gawai saat makan malam agar keluarga bisa kembali terhubung.
  • Sekolah perlu menciptakan lingkungan bebas gadget agar anak fokus pada pembelajaran sosial dan emosional.
Pesan utama dari itu semua adalah: anak tidak butuh dunia tanpa risiko, tapi dunia yang mengajarkan cara menghadapinya. Krisis kesehatan mental remaja bukan sekadar persoalan pribadi, melainkan tanda bahaya global yang harus ditangani bersama oleh keluarga, sekolah, dan pemerintah.

Jika tidak, generasi yang seharusnya menjadi harapan masa depan justru tumbuh menjadi “Generasi Cemas” (Anxious Generation) — generasi yang kehilangan kemampuan berinteraksi, berempati, dan berjuang di dunia nyata.
Komentar

Tampilkan

No comments:

Contact Form

Name

Email *

Message *

TERKINI