![]() |
Gambar Ilustrasi |
Namun, realitas di lapangan tak seindah itu. Banyak dari mereka justru harus menghadapi fase "menganggur" yang berlarut-larut.
Salah satu masalah utamanya adalah gengsi. Tidak sedikit sarjana yang menolak pekerjaan "tidak sepadan" dengan gelar yang disandang. Mereka merasa, biaya kuliah yang mahal harus langsung "terbayar" dengan posisi bergengsi. Padahal, banyak tokoh sukses justru memulai karier dari posisi paling dasar.
Hal ini diperparah oleh Dunning-Kruger Effect, di mana lulusan dengan IPK tinggi atau segudang sertifikat seminar merasa kompeten, padahal realita industri lebih mengedepankan keterampilan praktis.
Salah satu masalah utamanya adalah gengsi. Tidak sedikit sarjana yang menolak pekerjaan "tidak sepadan" dengan gelar yang disandang. Mereka merasa, biaya kuliah yang mahal harus langsung "terbayar" dengan posisi bergengsi. Padahal, banyak tokoh sukses justru memulai karier dari posisi paling dasar.
Hal ini diperparah oleh Dunning-Kruger Effect, di mana lulusan dengan IPK tinggi atau segudang sertifikat seminar merasa kompeten, padahal realita industri lebih mengedepankan keterampilan praktis.
Ketika ekspektasi bertemu kenyataan, lahirlah cognitive dissonance atau konflik batin yang membuat mereka menyalahkan sistem, perekrut, atau kondisi ekonomi, alih-alih introspeksi diri.
Tekanan tidak hanya datang dari diri sendiri. Keluarga dan lingkungan sekitar juga punya andil besar. Harapan yang terlalu tinggi, perbandingan dengan kerabat, atau dorongan untuk segera mendapat pekerjaan "terhormat" bisa memicu penurunan kepercayaan diri. Sebaliknya, keluarga yang terlalu protektif bisa membuat lulusan terjebak di zona nyaman.
Pengangguran yang berlarut-larut bisa mengubah karakter seseorang. Dari yang awalnya percaya diri, mereka bisa menjadi minder dan menarik diri.
Tekanan tidak hanya datang dari diri sendiri. Keluarga dan lingkungan sekitar juga punya andil besar. Harapan yang terlalu tinggi, perbandingan dengan kerabat, atau dorongan untuk segera mendapat pekerjaan "terhormat" bisa memicu penurunan kepercayaan diri. Sebaliknya, keluarga yang terlalu protektif bisa membuat lulusan terjebak di zona nyaman.
Pengangguran yang berlarut-larut bisa mengubah karakter seseorang. Dari yang awalnya percaya diri, mereka bisa menjadi minder dan menarik diri.
Teori learned helplessness menjelaskan, kegagalan berulang membuat seseorang putus asa. Ditambah lagi, identity disruption kehilangan jati diri karena "bukan mahasiswa, tapi juga bukan pekerja"makin mengikis motivasi.
Di Indonesia, status pekerjaan masih erat kaitannya dengan harga diri. Jika pekerjaan tidak dianggap "wah", sarjana sering dibandingkan dengan teman sebaya yang bekerja di perusahaan besar. Perbandingan ini bisa merusak mental dan menghambat keberanian untuk memulai dari nol.
Pendidikan tinggi seharusnya membekali sarjana dengan mentalitas pekerja keras dan kemampuan beradaptasi. Gelar sarjana bukan tiket emas menuju kesuksesan instan.
Di Indonesia, status pekerjaan masih erat kaitannya dengan harga diri. Jika pekerjaan tidak dianggap "wah", sarjana sering dibandingkan dengan teman sebaya yang bekerja di perusahaan besar. Perbandingan ini bisa merusak mental dan menghambat keberanian untuk memulai dari nol.
Pendidikan tinggi seharusnya membekali sarjana dengan mentalitas pekerja keras dan kemampuan beradaptasi. Gelar sarjana bukan tiket emas menuju kesuksesan instan.
Dunia kerja justru menghargai mereka yang mau belajar dan berkembang, bukan mereka yang terjebak dalam gengsi dan ekspektasi semu.
No comments:
Post a Comment