Pekalongannews, Jakarta - Indonesia kembali dihadapkan pada persoalan pelik: pengangguran. Data terbaru per Februari 2025 mencatat angka pengangguran mencapai 7,28 juta orang, meningkat sekitar 83 ribu orang dibandingkan tahun lalu. Situasi ini menegaskan bahwa darurat lapangan kerja bukan lagi isapan jempol belaka.
Tak hanya itu, gelombang PHK makin terasa mencekik. Per April 2025, lebih dari 24 ribu pekerja dirumahkan. Jumlah ini sudah menyentuh sepertiga dari total PHK sepanjang tahun 2024. Dunia kerja kini benar-benar tidak ramah, bahkan bagi mereka yang sudah berpengalaman sekalipun.
Bagi yang berusia di atas 40 tahun, mencari pekerjaan terasa seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Banyak perusahaan masih menerapkan batas usia maksimal 35 tahun, bahkan untuk posisi yang membutuhkan pengalaman. Alhasil, pencari kerja di usia matang terpaksa putar haluan, banting setir ke sektor informal.
"Usia saya 45 tahun, pengalaman ada, tapi tetap saja ditolak karena umur," ujar Iwan, mantan supervisor pabrik yang kini berjualan kopi keliling.
Ironisnya, para lulusan SMK yang semestinya siap kerja—malah menjadi penyumbang tertinggi angka pengangguran terbuka. Disusul oleh lulusan S1. Ada ketimpangan antara pendidikan dan kebutuhan dunia kerja, yang membuat para lulusan bingung harus melangkah ke mana.
"Belajar empat tahun, lulus S1, tapi ujung-ujungnya kerja serabutan. Nggak nyambung sama jurusan kuliah," ungkap Rina, lulusan universitas swasta di Jakarta.
Indonesia tengah menghadapi apa yang disebut sebagai bonus demografi, di mana penduduk usia produktif membludak. Tapi jika lapangan kerja tak tersedia, bonus ini justru bisa jadi bencana demografi. Pemerintah pun mulai bergerak cepat meski banyak yang menilai langkahnya masih belum cukup.
Melalui Kementerian Ketenagakerjaan, pemerintah meluncurkan program 1 juta pelatihan kerja dan membentuk pusat pasar kerja untuk menjembatani dunia usaha dan pencari kerja.
"Kami mendorong perusahaan agar lebih fleksibel dalam rekrutmen, termasuk soal batas usia. Kita tidak boleh diskriminatif," kata Menaker Ida Fauziyah.
Ekonom menyebut pertumbuhan ekonomi yang stagnan menjadi biang kerok sulitnya penciptaan lapangan kerja. Sektor industri yang dulu jadi andalan kini mulai menyusut, tergilas oleh otomatisasi dan efisiensi. Padahal, sektor ini dulunya jadi tulang punggung penyerap tenaga kerja.
Solusi jangka panjangnya? Reformasi pendidikan dan pelatihan. Khususnya di SMK, kurikulum harus sesuai kebutuhan pasar. Selain itu, inovasi di sektor informal juga perlu didukung agar bisa naik kelas dan menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Tak hanya itu, gelombang PHK makin terasa mencekik. Per April 2025, lebih dari 24 ribu pekerja dirumahkan. Jumlah ini sudah menyentuh sepertiga dari total PHK sepanjang tahun 2024. Dunia kerja kini benar-benar tidak ramah, bahkan bagi mereka yang sudah berpengalaman sekalipun.
Bagi yang berusia di atas 40 tahun, mencari pekerjaan terasa seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Banyak perusahaan masih menerapkan batas usia maksimal 35 tahun, bahkan untuk posisi yang membutuhkan pengalaman. Alhasil, pencari kerja di usia matang terpaksa putar haluan, banting setir ke sektor informal.
"Usia saya 45 tahun, pengalaman ada, tapi tetap saja ditolak karena umur," ujar Iwan, mantan supervisor pabrik yang kini berjualan kopi keliling.
Ironisnya, para lulusan SMK yang semestinya siap kerja—malah menjadi penyumbang tertinggi angka pengangguran terbuka. Disusul oleh lulusan S1. Ada ketimpangan antara pendidikan dan kebutuhan dunia kerja, yang membuat para lulusan bingung harus melangkah ke mana.
"Belajar empat tahun, lulus S1, tapi ujung-ujungnya kerja serabutan. Nggak nyambung sama jurusan kuliah," ungkap Rina, lulusan universitas swasta di Jakarta.
Indonesia tengah menghadapi apa yang disebut sebagai bonus demografi, di mana penduduk usia produktif membludak. Tapi jika lapangan kerja tak tersedia, bonus ini justru bisa jadi bencana demografi. Pemerintah pun mulai bergerak cepat meski banyak yang menilai langkahnya masih belum cukup.
Melalui Kementerian Ketenagakerjaan, pemerintah meluncurkan program 1 juta pelatihan kerja dan membentuk pusat pasar kerja untuk menjembatani dunia usaha dan pencari kerja.
"Kami mendorong perusahaan agar lebih fleksibel dalam rekrutmen, termasuk soal batas usia. Kita tidak boleh diskriminatif," kata Menaker Ida Fauziyah.
Ekonom menyebut pertumbuhan ekonomi yang stagnan menjadi biang kerok sulitnya penciptaan lapangan kerja. Sektor industri yang dulu jadi andalan kini mulai menyusut, tergilas oleh otomatisasi dan efisiensi. Padahal, sektor ini dulunya jadi tulang punggung penyerap tenaga kerja.
Solusi jangka panjangnya? Reformasi pendidikan dan pelatihan. Khususnya di SMK, kurikulum harus sesuai kebutuhan pasar. Selain itu, inovasi di sektor informal juga perlu didukung agar bisa naik kelas dan menyerap lebih banyak tenaga kerja.
No comments:
Post a Comment